Pada masa Rasul, seluruh pengetahuan terpusat kepada beliau. Beliau sebagai utusan Allah, memiliki akses khusus untuk mengetahui perintah dan informasi lain dari-Nya. Ketika terdapat problematika yang berkaitan dengan agama, para sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau untuk mengetahui jawaban yang paling benar.
Namun Nabi juga manusia. Beliau pasti kembali ke hadapan Maha Penguasa. Sistem yang pada awalnya mengerucut kepada Nabi Muhammad mulai goyah. Terbukti dengan muncul gesekan pendapat antara Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dalam kesunahan berbaring setelah haji. Bahkan, para sahabat mulai terbagi dari segi cara berpikirnya.
Di dalam Kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami karya Dr. Ahmad Ali Taha Rayyan, menyatakan ada tiga macam perpecahan dalam Islam selepas masa khalifah. Salah satu dari ketiganya ialah perpecahan metode pemikiran ulama. Sebagian ulama lebih mengutamakan teks hadis dalam memberikan hukum. Bagian yang lain lebih memikirkan alasan di balik munculnya hukum untuk menyelesaikan permasalahan baru.
Dahulu pada masa kepemimpinan Sayidina Umar, ada kebijakan agar ulama tidak meninggalkan ibu kota pemerintahan kecuali ada hajat. Para ulama harus berada dalam lingkungan yang sama sebagai otak dalam penentuan keputusan. Jika berada dalam satu tempat, para ulama lebih memungkinkan dalam mencapai satu kesepakatan. Sebab itu, pada masa ini terkenal dengan mulus dan mudahnya tercapai ijmak.
Namun Sayidina Utsman yang menjadi pemimpin setelahnya menghilangkan kebijakan tersebut. Khalifah Ketiga itu tidak menuntut ulama berada di Madinah, boleh bepergian ke mana saja yang mereka inginkan dengan atau tanpa ada hajat. Banyak ulama pun keluar dari Madinah dan berkelana ke berbagai kota. Mereka menyebarkan ilmunya kepada siapa pun yang ingin menimba pelajaran dari mereka.
Dari sana, setiap kota atau wilayah memiliki ulama mereka masing-masing. Para penduduk di setiap kota terdapat ulama sebagai rujukan yang mereka jadikan sebagai teladan serta tokoh publik. Mereka menimba ilmu, meniru perilaku keseharian, juga mengambil keputusan-keputusan hukum dari ulama tersebut, dan mereka meyakininya pun menghormatinya.
Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud yang pergi menuju Kufah. Pun Anas bin Malik yang berpindah ke Kota Basra. Juga Abdullah bin Amr bin al-Ash yang berkelana menuju Mesir. Mereka menjadi ulama di kota-kota tersebut dan menyebarkan ilmu serta metode mereka.
Akibat dari kepergian ulama di berbagai kota, paradigma berpikir ulama dalam mengambil keputusan hukum terkategorisasi menjadi dua: ahli hadis dan ahli ra’yi (nalar). Di dalam Kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, menjelaskan bahwa keduanya disebut juga sebagai madrasah hadis dan madrasah ra’yi. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda dan metode tersendiri dalam memberi fatwa.
Madrasah hadis masyhur di Madinah yang menjadi tempat pemerintahan tiga khalifah. Cara berpikir yang mengandalkan sunah-sunah Nabi, merupakan dampak dari para sahabat yang menetap di sana. Seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Aisyah binti Abu Bakar yang merupakan orang-orang penghafal banyak hadis dan tidak cenderung menggunakan nalar dalam menjawab problematika baru.
Para murid mereka berpegang teguh kepada ajaran mereka, sehingga menjadi keniscayaan bahwa di Madinah merupakan tempat pembelajaran ahli hadis. Selain itu, Madinah memang merupakan kota yang kaya akan hadis, dan banyak penghafalnya. Inilah yang menjadikan Madinah sebagai pusat madrasah hadis.
Sedangkan madrasah ra’yi bertempat di Irak, dan lebih spesifik bermula dari Kufah. Metode ini merupakan hasil warisan dari sahabat yang mengungsi ke sana, seperti Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Mas’ud. Para muridnya, menyebarkan cara ini di sana dan menjadi kelaziman bahwa Irak merupakan pusat madrasah ra’yi.
Para ahli nalar yakin kalau hukum Islam memiliki konstelasi yang mengandung kemaslahatan pemeluknya. Dari sana mereka yakin bahwa setiap hukum syariat terdapat landasan-landasan dan alasan-alasan yang menetapkan hukum. Dengan kepercayaan tersebut, setiap hukum mereka bedah untuk dicari dasarnya agar bisa menjawab kejadian-kejadian baru yang belum diketahui hukumnya.
Ditambah keadaan Irak yang banyak hadis palsu, sehingga perbendaharaan hadis lebih sedikit. Tercemarnya hadis membuat mereka membuat aturan yang ketat terhadap hadis. Akhirnya sedikit hadis-hadis yang terseleksi. Keadaan ini memaksa mereka lebih condong dengan nalar daripada tekstual. Dengan nalar tersebut, mereka menyelesaikan banyak permasalahan, bahkan yang belum muncul alias perkiraan.
Keduanya memiliki pemikiran masing-masing, tapi jawaban yang keduanya ungkapkan sah untuk dipakai, sebab orang yang ijtihad meski salah tetap Allah beri pahala. Hal tersebut berpacu kepada hadis yang diungkapkan Nabi:
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثم أَصابَ فله أَجْرَان، وإِذا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثم أَخْطَأَ فله أَجْرٌ
Artinya: “Hakim yang berijtihad kemudian hasilnya benar, maka ia akan mendapat dua ganjaran, dan jika salah, ia hanya mendapat satu ganjaran.”
Penulis: Ahmad Firman Ghani Maulana/Semester 4