Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the header-footer-elementor domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/maha5948/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Kaidah Fikih Archives - Ma'had Aly An-Nur II Al-Murtadlo

Kewajiban Lebih Utama

mahadalyannur2.ac.id-Kaidah fikih adalah suatu rumusan yang mencakup permasalahan fikih. Kaidah fikih berasal dari kesimpulan berbagai permasalahan fikih yang sudah ditentukan hukumnya. Makanya tidak bisa menjadi landasan untuk menentukan hukum. Bagaimana bisa sesuatu yang diambil dari masalah fikih bisa dijadikan landasan untuk menentukan hukum dari permasalahan fikih, bukan? Salah satu kaidah fikih di kitab Al-Asybah Wa Nadhoir adalah:

الْفَرْضُ أَفْضَلُ مِنْ النَّفْلِ

Kaidah tersebut terdiri dari kata fardhu dan nafl. Kata fardhu secara bahasa adalah perkiraan dan kepastian. Sedangkan menurut syariat adalah pekerjaan yang diharuskan oleh syariat dengan perintah tegas. Kata nafl secara bahasa adalah tambahan dan harta rampasan. Sedangkan secara syariat adalah pekerjaan secara sukarela atau sebagai tambahan atas kewajiban. Terkadang diucapkan juga dengan mandub, mustahab, tathawwu’, marghub fih dan sunah. [Al-Burnu, Muhammad Shidqi, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Syamilah) Juz.8 Hal. 24]

Berarti maksud dari kaidah tersebut bahwa amalan yang diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada amalan yang hukumnya sunah. Landasan dari kaidah tersebut adalah hadis Nabi:

والأصل في ذلك قوله صلى الله عليه وسلم فيما يحكيه عن ربه: ‌وَمَا ‌تَقَرَّبَ ‌إلَيَّ ‌الْمُتَقَرِّبُونَ ‌بِمِثْلِ ‌أَدَاءِ ‌مَا ‌افْتَرَضْتُ عَلَيْهِمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

“Dasar dari kaidah tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang beliau riwayatkan dari Tuhannya: Tidaklah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Ku mendekatkan diri dengan sesuatu yang lebih utama daripada menunaikan apa yang telah Aku wajibkan atas mereka. (HR. Bukhari)” [Az-Zuhaili, Muhammad Musthofa, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqotuha Fi Madzahib Al-‘Arba’ah (Syamilah) Juz. 2 Hal. 735]

Dalam kitab Al-Asybah Wa Nadhoir menyebutkan landasan lain, yaitu hadis Nabi riwayat Salman Al-Farisi:

مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنْ خِصَالِ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ

“Barangsiapa yang menunaikan satu amalan sunah di bulan Ramadan, maka ia seperti orang yang menunaikan kewajiban di bulan selain Ramadan. Barang siapa menunaikan satu kewajiban di bulan Ramadan, maka ia seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan selain Ramadan. (HR. Salman Al-Farisi).”

Nabi Muhammad saw mengatakan hal tersebut di bulan Ramadhan. Artinya beliau membandingkan amalan sunah di bulan Ramadan dengan amalan wajib di selain Ramadan dan membandingkan amalan wajib di bulan Ramadan dengan tujuh puluh amalan wajib di bulan selainnya. Bisa dipahami bahwa amalan wajib melebihi amalan sunah tujuh puluh derajat. [As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah Wa Nadhoir (Syamilah) hal. 145]

Permasalahan-permasalahan yang masuk ke dalam kaidah itu seperti menunaikan salat subuh yang sifatnya wajib lebih baik daripada salat duha yang sunah. Seandainya ada orang yang menunaikan salat sunah sepanjang hidupnya, semua itu tidak akan bisa menggantikan satu salat wajib yang ia tinggalkan, kecuali Allah merahmatinya.

Masalah lain kaidah ini adalah zakat. Ketika ada orang yang bersedekah berkali-kali lipat dari kewajiban zakatnya, tapi ia tidak berniat dengan sedekah itu untuk menunaikan zakat wajib. Maka sedekah tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat dari hartanya. Begitu juga ibadah-ibadah lainnya.

Kaidah ini juga memiliki pengecualian, yang artinya ada amalan sunah yang lebih utama daripada amalan wajib. Contohnya adalah memulai salam, padahal itu hukumnya sunnah, dan hukum menjawab salam adalah wajib. Memulai salam lebih utama dari pada menjawab salam, berdasarkan sabda Nabi:

لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ صَاحِبَهُ بِالسَّلَامِ

 Artinya: “Karena sabda Nabi, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai salam kepada temannya.”

Oleh: Moch. Rafli Nazillur R.

Membeli Dua, Mengembalikannya Juga Harus Dua

Jual beli merupakan salah satu aktivitas yang sudah lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan manusia yang tidak cukup dengan apa (barang) yang ia miliki. Dengan semakin banyaknya jual beli yang terjadi, muncul model – model penjualan yang beraneka ragam. Salah satunya adalah menjual dua barang dengan harga lebih murah dari penjualan terpisah.

Ketika Budi misalnya, membeli smartphone dan aksesorisnya sekaligus dengan harga paket. Sebab itu jauh lebih murah ketimbang membelinya satu per satu. Keesokan harinya, Budi menyadari bahwa smartphone yang ia beli kemarin tidak bisa menyala.

Sebelum melanjutkan, perlu diingat bahwa dalam jual beli terdapat konsep khiyar aib. Khiyar adalah hak bagi pembeli untuk memilih antara meneruskan jual beli atau menggagalkannya. Khiyar aib yang merupakan salah satu dari macamnya khiyar adalah hak yang timbul sebab tidak terpenuhinya tujuan dari pembelian barang.

Ketika menemukan kecacatan pada barang, tentunya pembeli harus segera mengembalikannya. Sehingga haknya bisa gugur. Jika pembeli menunda pengembalian tanpa adanya udzur, seperti makan dan sholat sebagaimana Al-Malibari dalam kitab Fathu Al-Mu’in menjelaskannya.[Al-Malibari, Zainuddin, Fathul Mu’in (Turats) hal. 331].

Lalu dalam situasi ini, apakah boleh bagi Budi untuk mengembalikan smartphone-nya saja? tanpa mengikutkan aksesorisnya. Secara umum di sini masih terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh dan yang kedua boleh.

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Raudlatul Tholibin bahwa ketika ada seseorang yang membeli dua budak sekaligus dalam satu akad, lalu dia menemukan aib pada salah satu dari budaknya. Lalu apakah boleh bagi pembeli untuk mengembalikan salah satunya (terdapat aib) saja? Secara umum di sini masih terdapat dua pendapat, yang satu mengatakan boleh dan satunya tidak boleh. Bahkan hukum (dua pendapat) tersebut selain berlaku pada dua budak, juga berlaku pada setiap dua hal yang manfaatnya tidak saling berkaitan.[An-Nawawi, Abu Zakaria, Raudlatut-Tholibin (Syamilah) Juz. 3 hal. 424]

Detailnya dijelaskan pada kitab Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, ketika pembeli memilih untuk mengembalikan keduanya, maka penjual harus menerimanya. Ketika pembeli memilih untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja (tanpa budak yang normal), boleh jika penjual rela. Alasan kebolehan itu adalah karena pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang cacat seperti yang telah dijelaskan di bab khiyar aib.

Akan tetapi jika penjual tidak meridhoinya (menerimanya), maka di sini masih terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pembeli boleh untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja. Pendapat kedua menyatakan bahwa pembeli tidak boleh untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja. Bahkan tidak boleh bagi pembeli untuk minta ganti rugi kepada penjual, karena dia masih bisa untuk mengembalikan kedua budaknya sekaligus.[Al-Imroni, Yahya Bin Abil Khoir, Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i (Syamilah) Juz. 5 hal. 296]

Sehingga, dalam kasus tadi Budi mempunyai hak untuk mengembalikan smartphone-nya saja (tanpa aksesoris), jika memang penjual ridlo. Akan tetapi jika penjual tidak meridhoinya maka masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, ada yang mengatakan boleh untuk mengembalikan smartphone-nya saja. Dan ada yang mengatakan tidak boleh untuk mengembalikan smartphonenya saja, jadi harus bersama dengan aksesorinya.

Kasus Budi tadi, yakni membeli smartphone dan aksesorisnya sekaligus, lalu dia menemukan suatu kecacatan dan memilih untuk mengembalikan smartphone yang rusak saja, masuk dalam kaidah fikih yang berbunyi مَا لَا يَقْبَلُ التَّبْعِيضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِّه. Imam suyuthi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitabnya Asybah Wa Nadhoir.[As-Suyuthi, Jalaluddin, Asybah Wa Nadhoir (Turats) hal. 160]

Al-Burnu menjelaskan dalam kitabnya Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah bahwa Kaidah tersebut mengandung lafaz At-Tab’idh yang artinya adalah terbagi, dan sesuatu yang dijadikan beberapa bagian. Sehingga maksud dari kaidah tersebut adalah semua hal yang tidak bisa dibagi (hukumnya universal), maka penyebutan satu bagiannya dalam suatu hukum sama dengan menghukumi keseluruhan. Begitu juga penghukuman untuk menggugurkan salah satu bagiannya sama dengan menggugurkan keseluruhan.

Dengan adanya kaidah إعمال اللفظ أولى من إهماله yang berarti menerapkan kata itu lebih baik daripada mengabaikannya, maka dalam kaidah ini akan ada kalanya memilih sebagian sama dengan memilih keseluruhan, agar mengikuti kaidah lebih utamanya menerapkan kata daripada mengabaikan suatu kata.[Al-Burnu, Muhammad Shidqi, Mausu’ah Al Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Syamilah) Juz. 1 hal. 205]

Penulis: Muhammad Rafli Nazliur R.

Penyunting: Ahmad Firman Ghani Maulana