Jual beli merupakan salah satu aktivitas yang sudah lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan manusia yang tidak cukup dengan apa (barang) yang ia miliki. Dengan semakin banyaknya jual beli yang terjadi, muncul model – model penjualan yang beraneka ragam. Salah satunya adalah menjual dua barang dengan harga lebih murah dari penjualan terpisah.
Ketika Budi misalnya, membeli smartphone dan aksesorisnya sekaligus dengan harga paket. Sebab itu jauh lebih murah ketimbang membelinya satu per satu. Keesokan harinya, Budi menyadari bahwa smartphone yang ia beli kemarin tidak bisa menyala.
Sebelum melanjutkan, perlu diingat bahwa dalam jual beli terdapat konsep khiyar aib. Khiyar adalah hak bagi pembeli untuk memilih antara meneruskan jual beli atau menggagalkannya. Khiyar aib yang merupakan salah satu dari macamnya khiyar adalah hak yang timbul sebab tidak terpenuhinya tujuan dari pembelian barang.
Ketika menemukan kecacatan pada barang, tentunya pembeli harus segera mengembalikannya. Sehingga haknya bisa gugur. Jika pembeli menunda pengembalian tanpa adanya udzur, seperti makan dan sholat sebagaimana Al-Malibari dalam kitab Fathu Al-Mu’in menjelaskannya.[Al-Malibari, Zainuddin, Fathul Mu’in (Turats) hal. 331].
Lalu dalam situasi ini, apakah boleh bagi Budi untuk mengembalikan smartphone-nya saja? tanpa mengikutkan aksesorisnya. Secara umum di sini masih terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh dan yang kedua boleh.
Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Raudlatul Tholibin bahwa ketika ada seseorang yang membeli dua budak sekaligus dalam satu akad, lalu dia menemukan aib pada salah satu dari budaknya. Lalu apakah boleh bagi pembeli untuk mengembalikan salah satunya (terdapat aib) saja? Secara umum di sini masih terdapat dua pendapat, yang satu mengatakan boleh dan satunya tidak boleh. Bahkan hukum (dua pendapat) tersebut selain berlaku pada dua budak, juga berlaku pada setiap dua hal yang manfaatnya tidak saling berkaitan.[An-Nawawi, Abu Zakaria, Raudlatut-Tholibin (Syamilah) Juz. 3 hal. 424]
Detailnya dijelaskan pada kitab Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, ketika pembeli memilih untuk mengembalikan keduanya, maka penjual harus menerimanya. Ketika pembeli memilih untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja (tanpa budak yang normal), boleh jika penjual rela. Alasan kebolehan itu adalah karena pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang cacat seperti yang telah dijelaskan di bab khiyar aib.
Akan tetapi jika penjual tidak meridhoinya (menerimanya), maka di sini masih terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pembeli boleh untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja. Pendapat kedua menyatakan bahwa pembeli tidak boleh untuk mengembalikan budak yang terdapat aib saja. Bahkan tidak boleh bagi pembeli untuk minta ganti rugi kepada penjual, karena dia masih bisa untuk mengembalikan kedua budaknya sekaligus.[Al-Imroni, Yahya Bin Abil Khoir, Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i (Syamilah) Juz. 5 hal. 296]
Sehingga, dalam kasus tadi Budi mempunyai hak untuk mengembalikan smartphone-nya saja (tanpa aksesoris), jika memang penjual ridlo. Akan tetapi jika penjual tidak meridhoinya maka masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, ada yang mengatakan boleh untuk mengembalikan smartphone-nya saja. Dan ada yang mengatakan tidak boleh untuk mengembalikan smartphonenya saja, jadi harus bersama dengan aksesorinya.
Kasus Budi tadi, yakni membeli smartphone dan aksesorisnya sekaligus, lalu dia menemukan suatu kecacatan dan memilih untuk mengembalikan smartphone yang rusak saja, masuk dalam kaidah fikih yang berbunyi مَا لَا يَقْبَلُ التَّبْعِيضَ فَاخْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِّه. Imam suyuthi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitabnya Asybah Wa Nadhoir.[As-Suyuthi, Jalaluddin, Asybah Wa Nadhoir (Turats) hal. 160]
Al-Burnu menjelaskan dalam kitabnya Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah bahwa Kaidah tersebut mengandung lafaz At-Tab’idh yang artinya adalah terbagi, dan sesuatu yang dijadikan beberapa bagian. Sehingga maksud dari kaidah tersebut adalah semua hal yang tidak bisa dibagi (hukumnya universal), maka penyebutan satu bagiannya dalam suatu hukum sama dengan menghukumi keseluruhan. Begitu juga penghukuman untuk menggugurkan salah satu bagiannya sama dengan menggugurkan keseluruhan.
Dengan adanya kaidah إعمال اللفظ أولى من إهماله yang berarti menerapkan kata itu lebih baik daripada mengabaikannya, maka dalam kaidah ini akan ada kalanya memilih sebagian sama dengan memilih keseluruhan, agar mengikuti kaidah lebih utamanya menerapkan kata daripada mengabaikan suatu kata.[Al-Burnu, Muhammad Shidqi, Mausu’ah Al Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Syamilah) Juz. 1 hal. 205]
Penulis: Muhammad Rafli Nazliur R.
Penyunting: Ahmad Firman Ghani Maulana