mahadalyannur2.ac.id-Kaidah fikih adalah suatu rumusan yang mencakup permasalahan fikih. Kaidah fikih berasal dari kesimpulan berbagai permasalahan fikih yang sudah ditentukan hukumnya. Makanya tidak bisa menjadi landasan untuk menentukan hukum. Bagaimana bisa sesuatu yang diambil dari masalah fikih bisa dijadikan landasan untuk menentukan hukum dari permasalahan fikih, bukan? Salah satu kaidah fikih di kitab Al-Asybah Wa Nadhoir adalah:
الْفَرْضُ أَفْضَلُ مِنْ النَّفْلِ
Kaidah tersebut terdiri dari kata fardhu dan nafl. Kata fardhu secara bahasa adalah perkiraan dan kepastian. Sedangkan menurut syariat adalah pekerjaan yang diharuskan oleh syariat dengan perintah tegas. Kata nafl secara bahasa adalah tambahan dan harta rampasan. Sedangkan secara syariat adalah pekerjaan secara sukarela atau sebagai tambahan atas kewajiban. Terkadang diucapkan juga dengan mandub, mustahab, tathawwu’, marghub fih dan sunah. [Al-Burnu, Muhammad Shidqi, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Syamilah) Juz.8 Hal. 24]
Berarti maksud dari kaidah tersebut bahwa amalan yang diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada amalan yang hukumnya sunah. Landasan dari kaidah tersebut adalah hadis Nabi:
والأصل في ذلك قوله صلى الله عليه وسلم فيما يحكيه عن ربه: وَمَا تَقَرَّبَ إلَيَّ الْمُتَقَرِّبُونَ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“Dasar dari kaidah tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang beliau riwayatkan dari Tuhannya: Tidaklah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Ku mendekatkan diri dengan sesuatu yang lebih utama daripada menunaikan apa yang telah Aku wajibkan atas mereka. (HR. Bukhari)” [Az-Zuhaili, Muhammad Musthofa, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqotuha Fi Madzahib Al-‘Arba’ah (Syamilah) Juz. 2 Hal. 735]
Dalam kitab Al-Asybah Wa Nadhoir menyebutkan landasan lain, yaitu hadis Nabi riwayat Salman Al-Farisi:
مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنْ خِصَالِ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ
“Barangsiapa yang menunaikan satu amalan sunah di bulan Ramadan, maka ia seperti orang yang menunaikan kewajiban di bulan selain Ramadan. Barang siapa menunaikan satu kewajiban di bulan Ramadan, maka ia seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan selain Ramadan. (HR. Salman Al-Farisi).”
Nabi Muhammad saw mengatakan hal tersebut di bulan Ramadhan. Artinya beliau membandingkan amalan sunah di bulan Ramadan dengan amalan wajib di selain Ramadan dan membandingkan amalan wajib di bulan Ramadan dengan tujuh puluh amalan wajib di bulan selainnya. Bisa dipahami bahwa amalan wajib melebihi amalan sunah tujuh puluh derajat. [As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah Wa Nadhoir (Syamilah) hal. 145]
Permasalahan-permasalahan yang masuk ke dalam kaidah itu seperti menunaikan salat subuh yang sifatnya wajib lebih baik daripada salat duha yang sunah. Seandainya ada orang yang menunaikan salat sunah sepanjang hidupnya, semua itu tidak akan bisa menggantikan satu salat wajib yang ia tinggalkan, kecuali Allah merahmatinya.
Masalah lain kaidah ini adalah zakat. Ketika ada orang yang bersedekah berkali-kali lipat dari kewajiban zakatnya, tapi ia tidak berniat dengan sedekah itu untuk menunaikan zakat wajib. Maka sedekah tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat dari hartanya. Begitu juga ibadah-ibadah lainnya.
Kaidah ini juga memiliki pengecualian, yang artinya ada amalan sunah yang lebih utama daripada amalan wajib. Contohnya adalah memulai salam, padahal itu hukumnya sunnah, dan hukum menjawab salam adalah wajib. Memulai salam lebih utama dari pada menjawab salam, berdasarkan sabda Nabi:
لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ صَاحِبَهُ بِالسَّلَامِ
Artinya: “Karena sabda Nabi, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai salam kepada temannya.”
Oleh: Moch. Rafli Nazillur R.