Ma'had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo

Kategorisasi Ulama Ahli hadis dan Ahli Nalar

Pada masa Rasul, seluruh pengetahuan terpusat kepada beliau. Beliau sebagai utusan Allah, memiliki akses khusus untuk mengetahui perintah dan informasi lain dari-Nya. Ketika terdapat problematika yang berkaitan dengan agama, para sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau untuk mengetahui jawaban yang paling benar. 

Namun Nabi juga manusia. Beliau pasti kembali ke hadapan Maha Penguasa. Sistem yang pada awalnya mengerucut kepada Nabi Muhammad mulai goyah. Terbukti dengan muncul gesekan pendapat antara Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dalam kesunahan berbaring setelah haji. Bahkan, para sahabat mulai terbagi dari segi cara berpikirnya.

Di dalam Kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami karya Dr. Ahmad Ali Taha Rayyan, menyatakan ada tiga macam perpecahan dalam Islam selepas masa khalifah. Salah satu dari ketiganya ialah perpecahan metode pemikiran ulama. Sebagian ulama lebih mengutamakan teks hadis dalam memberikan hukum. Bagian yang lain lebih memikirkan alasan di balik munculnya hukum untuk menyelesaikan permasalahan baru.

Dahulu pada masa kepemimpinan Sayidina Umar, ada kebijakan agar ulama tidak meninggalkan ibu kota pemerintahan kecuali ada hajat. Para ulama harus berada dalam lingkungan yang sama sebagai otak dalam penentuan keputusan. Jika berada dalam satu tempat, para ulama lebih memungkinkan dalam mencapai satu kesepakatan. Sebab itu, pada masa ini terkenal dengan mulus dan mudahnya tercapai ijmak.

Namun Sayidina Utsman yang menjadi pemimpin setelahnya menghilangkan kebijakan tersebut. Khalifah Ketiga itu tidak menuntut ulama berada di Madinah, boleh bepergian ke mana saja yang mereka inginkan dengan atau tanpa ada hajat. Banyak ulama pun keluar dari Madinah dan berkelana ke berbagai kota. Mereka menyebarkan ilmunya kepada siapa pun yang ingin menimba pelajaran dari mereka. 

Dari sana, setiap kota atau wilayah memiliki ulama mereka masing-masing. Para penduduk di setiap kota terdapat ulama sebagai rujukan yang mereka jadikan sebagai teladan serta tokoh publik. Mereka menimba ilmu, meniru perilaku keseharian, juga mengambil keputusan-keputusan hukum dari ulama tersebut, dan mereka meyakininya pun menghormatinya.

Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud yang pergi menuju Kufah. Pun Anas bin Malik yang berpindah ke Kota Basra. Juga Abdullah bin Amr bin al-Ash yang berkelana menuju Mesir. Mereka menjadi ulama di kota-kota tersebut dan menyebarkan ilmu serta metode mereka.

Akibat dari kepergian ulama di berbagai kota, paradigma berpikir ulama dalam mengambil keputusan hukum terkategorisasi menjadi dua: ahli hadis dan ahli ra’yi (nalar). Di dalam Kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, menjelaskan bahwa keduanya disebut juga sebagai madrasah hadis dan madrasah ra’yi. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda dan metode tersendiri dalam memberi fatwa.

Madrasah hadis masyhur di Madinah yang menjadi tempat pemerintahan tiga khalifah. Cara berpikir yang mengandalkan sunah-sunah Nabi, merupakan dampak dari para sahabat yang menetap di sana. Seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Aisyah binti Abu Bakar yang merupakan orang-orang penghafal banyak hadis dan tidak cenderung menggunakan nalar dalam menjawab problematika baru. 

Para murid mereka berpegang teguh kepada ajaran mereka, sehingga menjadi keniscayaan bahwa di Madinah merupakan tempat pembelajaran ahli hadis. Selain itu, Madinah memang merupakan kota yang kaya akan hadis, dan banyak penghafalnya. Inilah yang menjadikan Madinah sebagai pusat madrasah hadis.

Sedangkan madrasah ra’yi bertempat di Irak, dan lebih spesifik bermula dari Kufah. Metode ini merupakan hasil warisan dari sahabat yang mengungsi ke sana, seperti Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Mas’ud. Para muridnya, menyebarkan cara ini di sana dan menjadi kelaziman bahwa Irak merupakan pusat madrasah ra’yi.

Para ahli nalar yakin kalau hukum Islam memiliki konstelasi yang mengandung kemaslahatan pemeluknya. Dari sana mereka yakin bahwa setiap hukum syariat terdapat landasan-landasan dan alasan-alasan yang menetapkan hukum. Dengan kepercayaan tersebut, setiap hukum mereka bedah untuk dicari dasarnya agar bisa menjawab kejadian-kejadian baru yang belum diketahui hukumnya.

Ditambah keadaan Irak yang banyak hadis palsu, sehingga perbendaharaan hadis lebih sedikit. Tercemarnya hadis membuat mereka membuat aturan yang ketat terhadap hadis. Akhirnya sedikit hadis-hadis yang terseleksi. Keadaan ini memaksa mereka lebih condong dengan nalar daripada tekstual. Dengan nalar tersebut, mereka menyelesaikan banyak permasalahan, bahkan yang belum muncul alias perkiraan.

Keduanya memiliki pemikiran masing-masing, tapi jawaban yang keduanya ungkapkan sah untuk dipakai, sebab orang yang ijtihad meski salah tetap Allah beri pahala. Hal tersebut berpacu kepada hadis yang diungkapkan Nabi:

إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثم أَصابَ فله أَجْرَان، وإِذا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثم أَخْطَأَ فله أَجْرٌ

Artinya: “Hakim yang berijtihad kemudian hasilnya benar, maka ia akan mendapat dua ganjaran, dan jika salah, ia hanya mendapat satu ganjaran.”

Penulis: Ahmad Firman Ghani Maulana/Semester 4

Imam Syafii: Keberhasilannya Terbangun dari Kepahitan

Ishaq bin Rahawaih, sosok di balik tercetusnya Shahih Bukhari, pernah berkomentar tentang Imam Syafii. Beliau merasa bahwa putra Idris itu, memiliki kepandaian yang luar biasa. Bahkan beliau mengaku menyesal karena tidak berguru kepadanya sampai akhir.

Itulah salah satu bukti kehebatan Imam Syafii. Namun, tidak usah jauh-jauh untuk mengetahui kesuksesannya. Banyaknya pengikut mazhab Syafii di Indonesia sudah menjelaskan alasannya. Hanya saja, di balik gemerlap pencapaiannya, ada usaha-usaha keras. Beliau, yang sekarang terkenal itu, dulu mengalami penderitaan yang pahit.

  1. Terjaga Semenjak sebelum Lahir

Melansir dari NU Online, ayah Imam Syafii, Idris, sangat menjaga dirinya dari perkara haram. Hal itu terbukti dengan permintaannya terhadap pemilik kebun delima untuk mengikhlaskan delimanya yang terbawa arus sungai. Namun, pemilik kebun memberikan dua syarat yang berat. 

Satu, harus merawat kebun selama satu bulan tanpa gaji. Dua, menikahi putrinya, yang katanya buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Namun Idris tetap memenuhi kedua permintaan itu. Kuatnya tekad dalam mematuhi kedua syarat itu adalah cara untuk menjaga dirinya serta keturunannya dari barang haram. 

Maka, tidak heran putranya terlahir dengan kecerdasan yang luar biasa. Orang tuanya selalu mengusahakan agar terhindar dari perkara haram. Tentunya menjaga diri dari hal-hal yang tidak halal memiliki pengaruh terhadap ilmu.

Hal itu Imam Syafii sampaikan dalam syairnya,

وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله لا يؤتاه عاصي

Artinya: “Imam Syafii berkata, Ilmu adalah cahaya. Cahaya Allah tidak untuk ahli maksiat.

  1. Giat Mencari Ilmu meski Tidak Ada Biaya

Ketika masih di gendongan ibunya, Imam Syafii sudah tidak memiliki ayah. Ibunya, harus membagi peran sebagai pencari nafkah. Namun nafkah itu masih tidak cukup untuk keseharian keduanya. 

Di dalam Kitab Dirosah fi Mazhab al-Imam as-Syafii, pendiri mazhab terbesar di Indonesia itu pernah menceritakan lika-likunya dalam mencari ilmu. Beliau berkisah, bahwa kondisi ekonomi keluarganya tidak baik. Untuk membeli kertas ibunya tidak mampu.

Tapi semangat belajar dalam diri beliau memanglah nyata. Sebelum pelajaran mulai, beliau akan mencari tulang-tulang sebagai pengganti kertas. Beliau mencatat setiap ajaran gurunya di atas tulang. Kemudian tulang–tulang itu beliau taruh di dalam bejana ibunya sampai semua bejana itu penuh dengan tulang-tulang.

Kisah ini mengajarkan bahwa fasilitas bukan poin utama dalam dunia pendidikan. Kemauan yang nyata dan selalu konsisten untuk berdiri di atas tekad ialah kunci utama sebenarnya. Imam Syafii yang miskin berubah menjadi legenda dalam dunia keilmuan Islam adalah buktinya.

  1. Difitnah Menjadi Syiah

Saat Imam Syafii hidup di Yaman, golongan Syiah menjadi kelompok yang populer. Namun, penguasa pada masa itu, Harun ar-Rasyid merupakan orang yang membenci golongan tersebut. Ia menganggap bahwa tujuan kelompok itu untuk meruntuhkan pemerintahannya. Maka, setiap orang yang termasuk Syiah harus ditangkap.

Imam Syafii yang ajarannya berlawanan dengan Syiah dituduh sebagai bagian dari mereka. Karenanya, Khalifah Harun menyuruh orang-orang untuk menangkapnya. Di sini terjadi petak umpet antara pemerintah dengan Imam Syafii.

Hingga akhirnya fitnah itu mereda dengan kecerdikannya. Imam Syafii berhasil meluluhkan hati khalifah saat itu dengan kata-katanya. Setelah itu, beliau bebas dari tuduhan.

  1. Tidak Makan dan Tidak Tidur

Salah satu muridnya, Rabi’ bin Sulaiman al-Murady, pernah menceritakan kegigihan Imam Syafii dalam belajar. Cerita ini berlatarkan saat Imam Syafii pergi ke Mesir. Kerja keras Imam Syafii dalam menggagas qoul jadid di Mesir.

Terdapat kisah bahwa Imam Syafii tidak makan saat di siang hari. Karena terlalu fokus pada pelajaran, beliau tidak terpikirkan masalah perutnya. Perutnya kosong hingga matahari tenggelam.

Ketika malam, Imam Syafii tidak tidur karena masih sibuk dengan kegiatan belajarnya. Saat belajar, ada budak perempuan di sampingnya yang setia melayani kebutuhannya. Sebab dulu tidak ada lampu, beliau kerap menyuruh budak untuk menyalakan lilin sebagai penerangan.

Namun, cahaya yang muncul dari lilin mengganggu kefokusannya. Maka, setelah beberapa menit, beliau akan menyuruh budaknya untuk mematikan lilin. Dalam keadaan gelap, Imam Syafii merenung sambil bersandar untuk memantapkan teori di kepalanya. Bila sudah, beliau akan kembali meminta budaknya untuk menyalakan lilin. Hal ini terulang-ulang dalam satu malam.

Semua poin di atas membangun kesuksesan Imam Syafii saat ini. Keberhasilannya yang sekarang terlihat manis merupakan buah dari pengalaman-pengalaman yang pahit. Kisah beliau menjadi hikmah yang dapat memotivasi dalam berkehidupan; bahwa manusia yang sukses adalah mereka yang bertekad kuat. Kalau tidak kuat bisa-bisa jadi psikopat.