mahadalyannur2.ac.id-Salah satu kaidah fikih yang mencangkup banyak permasalahan fikih adalah المشقة تجلب التيسر (Kesulitan mendatangkan kemudahan) Kaidah ini menjadi sumber munculnya seluruh keringanan yang ada dalam syariat kita. Kaidah ini berawal dari dalil Al-Qur’an:
يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر
“Allah Swt mengharapkan kemudahan bagi kalian, tidak mengharapkan kesulitan.”(Al-baqarah 185:2).
Adapun makna dari kaidah ini adalah kesulitan mendatangkan kemudahan. Hanya saja yang butuh perhatian, tidak semua kesulitan berlaku demikian. Oleh karenanya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Asybah wa An-Nazhair membaginya menjadi dua:
Pertama, kesulitan yang tidak mendatangkan keringanan. Hal ini dapat kita jumpai dalam seluruh ibadah. Kami beri contoh, salat. Kalau kita mau jujur, di dalam salat itu terdapat sebuah kesulitan. Kita harus anteng, tidak boleh makan, tidak bicara untuk beberapa waktu, bahkan sebelum melakukan salat pun sudah banyak yang mengeluh, sepakat? Contoh lain, puasa. Ibadah ini jelas sulit. Muslimin menahan lapar dan dahaga di siang bolong.
Namun kesulitan ini tidak mendatangkan kemudahan apa pun. Masih banyak lagi kesulitan-kesulitan yang akan kita temukan di setiap ibadah.
Meski demikian, kesulitan ini masih wajar. Karena seorang mukalaf masih mampu untuk melaluinya. Hal itu hanya sebuah wasilah untuk mencapai tujuan. Tujuan orang salat bukan mencari kesulitan seperti di atas, melainkan untuk menjaga seseorang agar tidak melakukan perilaku keji dan munkar. Dalam puasa juga. Tujuan utamanya bukan menyiksa perut, melainkan untuk melatih mukalaf agar mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Bagaimanapun juga kesukaran tersebut harus dilalui. Ingat bahwa tiada kesuksesan tanpa jerih payah. Dalam kitab I’lamul Al-Muwaqi’in Ibnu Qoyyim menyebutkan:
إن كانت المشقة مشقة تعب.. فمصالح الدنيا والأخر منوطة بالتعب. ولا راحة لمن لاتعب له.
بلى على قدر التعب تكون الراحة.
“Sesungguhnya jika kesulitan itu adalah kepayahan karena lelah, maka kemaslahatan dunia dan akhirat itu terikat dengan kelelahan. Tidak ada kenyamanan bagi siapa pun yang tidak merasakan lelah. Benar, sesuai dengan kadar kelelahan, maka sebesar itu pula kenyamanan (yang ada).”
Pun, Sebuah kesulitan juga menjadi penentu besar pahala yang seseorang dapatkan. Seperti dalam hadis yang riwayat Ahmad:
فضل الدار القريبة من المسجد على الدار الشاسعة كفضل الغازي على القاعد
“Perbandingan keutamaan antara orang yang rumahnya dekat masjid, dan orang yang jauh layaknya perbandingan orang yang berperang dengan yang tidak.”
Selain itu dalam hadis yang riwayat Bukhari-Muslim bahwa kesusahan dalam melaksanakan ibadah menjadi pelebur dosa:
ما يصيب المسلم من نصب ولاوصب ولاهم وحزن ولاأذى ولاغم، حتى الشوكة يشاكها.. إلا كفر الله بها من خطاياه
“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa cobaan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, kerugian, kesulitan, bahkan ketika ia menginjak duri sekalipun, kecuali itu menjadi pelebur dosa-dosanya.”
Maka syariat tak khayal seperti dokter yang memberikan obat untuk pasiennya. Obat itu harus diminum meski pahit rasanya, tapi hal ini menjadi media supaya pasien ini mendapatkan kesembuhan.
Kedua, kesulitan yang dapat mendatangkan kemudahan. Kesulitan ini berlaku demikian karena menjadi penyebab hilangnya sebuah tujuan ibadah. Seperti kemudahan untuk orang yang sukar berdiri saat salat, sehingga dia boleh salat sambil duduk. Hal ini bila dipaksakan maka akan menghilangkan makna dari salat, yakni khusyuk dan mengingat Allah.
Contoh lain, ketika seseorang mengalami keadaan kritis, berbagai macam obat telah ia coba dan tidak menghasilkan efek yang berarti. Akhirnya, dokter pun merekomendasikan untuk mengonsumsi obat yang berbahan dasar najis, maka kemudahan untuk mengonsumsi barang najis muncul. Sebab bila dipaksakan orang ini akan kehilangan salah satu dari Maqosidu As-Syariah yakni Hifdhun An-nafs (melestarikan nyawa).
Kesimpulannya, ketika sebuah kesulitan menjadi sarana mencapai sebuah tujuan maka hal ini harus dilalui demi sebuah kesuksesan. Tapi, kok malah menghilangkan tujuan yang diharapkan, maka kesulitan ini akan mendatangkan kemudahan. Sehingga kita perlu pintar-pintar membedakan antara kesulitan yang mendatangkan kesuksesan dan yang mendatangkan kemudahan.
Tulisan ini merupakan refleksi dari kitab:
1. Al-asybah wa An-nadhair, As-suyuthi
2. Nadhariyatul Ad-dharurat, Wahbah Az-zuhaili
Penulis: Muhtaddin Rahayu
Editor: Ghani Maulana