mahadalyannur2.ac.id-Pernahkah melihat film detektif? Seorang detektif memiliki kejelian yang tinggi. Semua hal di sekelilingnya bisa menjadi bukti untuk menguraikan benang merah suatu kasus. Meski itu film, pada dasarnya, film dan realita tidak jauh berbeda. Maksud saya, semua hal di dunia nyata ini, juga memberikan makna tertentu.
Contoh, asap menunjukkan adanya api. Barang berantakan di rumah menunjukkan ada orang yang sengaja membuatnya berantakan dengan tujuan tertentu. Semua hal tersebut tidak berbicara, tapi memungkinkan untuk manusia berkomunikasi dengannya demi menginformasikan sesuatu. Lalu apa jadinya untuk suatu ucapan? Seharusnya, suatu ucapan bisa mengandung makna yang bermacam-macam.
Dalalah terbagi menjadi dua, ada yang berasal dari ucapan, ada yang tidak berasal dari ucapan. Keduanya nanti terbagi lagi menjadi lebih rinci. Namun dalam tulisan ini tidak semua dibahas. Hanya dalalah yang berasal dari ucapan bahasa saja.
Dalalah dari ucapan terbagi menjadi tiga. Satu, muthabqah, di mana ketika suatu ucapan menunjukkan makna lengkap dari lafaz tersebut. Semisal ada orang yang mengatakan manusia, kemudian kok muncul pemahaman dari lafaz tersebut berupa hewan yang berakal. Inilah yang namanya dalalah muthabaqah.
Dua, tadlammun. Sebuah dalalah yang menunjukkkan makna sebagian dari keseluruhan makna suatu lafaz. Dengan contoh yang sama, kata manusia, jika memunculkan pemahaman hanya hewan saja, inilah dalalah tadlammun.
Tiga, iltizam. Ketika ada lafaz tidak menunjukkan maknanya sendiri, melainkan menunjukkan hal-hal yang berkaitan erat. Inilah yang namanya dalalah iltizam. Masih contoh yang sama, manusia, sama sekali tidak menyinggung maknanya berupa hewan yang berakal, tapi malah menunjukkan sebagai penerima ilmu-misal.
Tiga pembagian tadi dikelompokkan menjadi dua, yaitu lafziyah dan aqliyah. Maksud dari lafzi ialah makna suatu lafaz tidak berpindah terlalu jauh. Pembagian ini mencakup muthabaqah dan tadlammun. Sedangkan aqliyah perlu pemahaman dari pikiran di mana suatu lafaz tidak menunjukkan maknanya tapi sesuatu yang berkaitan dengannya.
Pembagian Dalalah Iltizam
Iltizam terbagi menjadi tiga. Pertama, iqtidlo’. Jenis ini adalah ketika suatu lafaz membutuhkan lafaz lain untuk menyesuaikan maknanya. Tidak cukup hanya dengan lafaz yang tampak saja, tapi butuh pengira-ngiraan lafaz. Ada tiga contoh:
Satu,
رفع عَن أمتِي الْخَطَأ وَالنِّسْيَان
Arti hadis ini ialah, “Dosa dari kesalahan dan lupa akan dihilangkan.”
Pada dasarnya, arti hadis tersebut seharusnya kesalahan dan lupa akan dihilangkan. Namun, pada realita, manusia masih sering berbuat salah dan lupa. Maka, pada hadis tersebut butuh lafaz yang dikira-kirakan berupa “dosa”.
Dua,
وَاسْأَلِ الْقَرْيَة
Ayat tersebut memiliki arti, “Tanyailah penduduk desa itu.”
Ada makna tambahan pada ayat tersebut agar artinya tidak rancu. Jika mengikuti teks secara eksplisit, artinya tanyailah desa. Bagaimana mungkin seseorang bisa bertanya kepada desa? Mestinya yang ditanyai adalah penduduknya.
Tiga,
أعتق عبدك عني
Artinya, “Merdekakanlah budakmu atas namaku!”
Perlu diketahui, bahwa dalam syariat Islam, memerdakan budak hanya bisa bagi orang yang memilikinya. Seharusnya, perkataan di atas tidak bisa membuat seorang budak merdeka. Karena budaknya masih milik lawan bicaranya. Namuan, nyatanya, jika lawan bicara melaksanakan perintah itu, budak miliknya akan merdeka. Padahal perkataan itu menunjukkan bahwa si budak merdeka atas nama pembicara. Maka, butuh tambahan makna pada lafaz tersebut seperti, “Berikan budak itu kepadaku, dan aku bebaskan budak itu atas namaku!”
Kedua, isyaroh. Jenis ini ialah ketika suatu lafaz tidak butuh pengira-ngiraan lafaz, tapi kesimpulan yang munsul sangat berbeda dengan tujuan lafaz itu. Contoh,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيامِ الرَّفَثُ إِلى نِسائِكُمْ
Ayat ini ingin memberitahukan bahwa seseorang yang berpuasa pada malam harinya ia boleh bermain dengan istrinya sepuasnya. Namun ulama mengambil kesimpulan lain dari ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa dari ayat itu bisa dipahami orang yang junub puasanya sah. Maksudnya tidak ada syarat harus suci terlebih dahulu kalau mau puasa.
Kesimpulan ini merupakan makna yang tidak sesuai dengan tujuan awal. Namun masih memiliki kaitan erat terhadap teks. Sebab pada ayat tersebut memperbolehkan suami untuk menjimak istrinya semalaman. Sedangkan sebelum subuh masih disebut malam.
Ketiga, iima’. Jenis ini adalah ketika lafaz tidak menjadi alasan dari hukum, lafaz tersebut tidak berguna. Contoh, dulu sahabat Nabi berkata, “Saya telah menjimak istri saya di siang hari Ramadan.” Nabi kemudian berkata, “Bebaskan budak!”
Andai perkataan sahabat tidak menjadi alasan dari munculnya sabda Nabi, terus ngapain Nabi tiba-tiba menyuruh untuk membebaskan budak. Juga ngapain sahabat menngatakann hal demikian tanpa ada jawaban sama sekali. Maka antara perkataan sahabat dan Nabi memiliki hubungan sebab dan akibat. Inilah dalalah iima’.
Oh, mohon maaf kalau ternyata banyak yang Anda tidak pahami. Segera seduh kopi untuk menghilangkan rasa jenuh!
Penulis: Ahmad Firman Ghani Maulana/Semester