Ma'had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo

Kiai Afifuddin Muhajir: Pilar-Pilar Usul Fikih

mahadalyannur2.ac.id-Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo, memiliki cita-cita yang tinggi. Yakni melahirkan generasi faqih yang produktif, yang tidak hanya mengenal fikih secara qouly¸ tapi juga secara manhaji. Menurut KH. Afifuddin Muhajir, fakih yang seperti ini yang menyerupai Imam Malik. Sebab Imam Malik ketika ditanya persoalan lebih memilih untuk merenung terlebih dahulu dari pada langsung menjawab.

Kejadian itu terjadi ketika Imam Malik dikunjungi oleh ulama asal Maroko yang ingin menanyakan 40 soal. Semua soal tersebut merupakan permasalahan yang masih belum terselesaikan. Demi mendapat jawaban, ulama Maroko pergi jauh-jauh ke Madinah untuk menemui Imam Malik.

Sayangnya, dari 40 soal, yang beliau jawab hanya empat. Sisanya beliau hanya berkata tidak tahu. Ini bukan menunjukkan Imam Malik bodoh, tapi beliau lebih memilih untuk merenung terlebih dahulu demi bisa memberi jawaban yang lebih baik.

Untuk mencapai derajat demikian, perlu untuk memahami pondasi ilmu fikih. Pondasi ini demi membangun dasar-dasar hukum yang ada di fikih. Disiplin ini bernama Usul Fikih, sebuah kursus yang mempelajari dalil-dalil.

KH. Afifuddin Muhajir, memberikan penjelasan bahwa Usul Fikih memiliki empat pilar. Penjelasan ini beliau ambil dari Imam Ghozali. Empat pilar itu ialah hukum, dalil, cara menggali dalil untuk menemukan hukum, dan sifat-sifat mujtahid. Empat hal ini yang menjadi materi utama dalam Usul Fikih.

Maksud dari hukum adalah hukum syariat. Sedangkan hukum syariat hanya bisa didapat dari dalil. Namun tidak bisa begitu saja untuk memahami dalil, harus mengerti cara-caranya. Tidak sembarangan orang bisa menggunakan cara tersebut. Inilah hubungan dari empat pilar tadi, semua bab memiliki kaitan kuat dengan lainnya.

Cara menggali hukum dari dalil syariat terbagi menjadi tiga manhaj (metode). Satu, manhaj bayani yang merupakan metode yang berdasar pada nas-nas agama. Dua, manhaj qiyasi, metode yang menggunakan kiyas (analogi). Tiga, manhaj maqosidi, metode yang menggunakan tujuan-tujuan syariat.

Manhaj bayani, metode pengambilan hukum memalui nas. Maksud dari nas adalah Al-Qur’an dan Hadis. Untuk memahami keduanya perlu tiga langkah. Pertama, memahami kaidah-kaidah bahasa Arab. Nas syariat turun menggunakan bahasa Arab, maka memahaminya merupakan hal yang esensial. Agar bisa memahami kaidah bahasa Arab, harus mempelajari ilmu alat, semacam nahwu, sharaf, dan balaghoh.

Dalam langkah pertama terdapat tiga pembahasan penting. Tiga pembahasan tersebut ialah lafaz, makna, dan petunjuk suatu lafaz terhadap makna. Ketiganya berfungsi untuk memahami teks dari syariat dan mengerti maknanya secara intens serta pemahaman tersirat dari lafaz.

Kedua, mengetahui asbabun nuzul (kejadian yang melatarbelakangi turun ayat Al-Qur’an) dan asbabul wurud (kejadian yang menjadi sebab muncul hadis). Para ulama mengatakan, “Mengetahui asbabun nuzul wajib bagi orang yang ingin memahami Al-Qur’an.” Perkataan ini menunjukkan bahwa memahami nas tidak cukup dengan lafaz saja, tapi juga harus mengetahui latar belakangnya.

Ketiga, memadukan nas yang sedang dikaji dengan nas-nas lain. Satu ayat, untuk memahaminya, memerlukan ayat lain yang menafsirinya. Hadis pun begitu, butuh hadis lain untuk mengerti intrpretasinya. Terkadang pun Al-Qur’an ditafsiri dengan hadis dan sebaliknya.

  Keempat, mengintegrasikan nas dan maqasid. Keduanya memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Maqasid bersumber dari nas, tanpa nas maqasid tidak akan ada. Di sisi lain, maqashid yang merupakan tujuan syariat menjadi salah satu unsur penting dalam menafsiri nas.

Inti dari tujuan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan manusia. Untuk itu, tujuan syariat terbagi menjadi lima hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafsi (menjaga nyawa), hifdzu al-mal (menjaga harta), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), hifdzu al-‘aql (menjaga akal).

Begitulah penjelasan dari KH. Afifuddin Muhajir terkait Usul Fikih saat mengisi kuliah umum di Ma’had Aly pondok pesantren An-Nur II Al-Murtadlo.

Penulis: Ahmad Firman Ghani Maulana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *