mahadalyannur2.ac.id-Menjelang Iduladha, semangat kurban kembali mengalir di tengah umat. Di hari yang agung ini, kita memperingati keteladanan Nabi Ibrahim yang mempersembahkan pengorbanan murni karena Allah. Namun muncul satu pertanyaan penting; untuk siapa sebenarnya kurban kita tujukan?
Dalam fikih, terdapat konsep tasyrik niat, yakni ketika satu niatan memiliki dua tujuan atau lebih. Misalnya, seseorang melakukan salat dua rakaat dengan niat ibadah dan berharap mendapat uang. Inilah bentuk pencampuran niat yang membahayakan keikhlasan dan bisa merusak nilai ibadah.
Fenomena ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, termasuk saat menyembelih hewan kurban. Maka kita akan menelusuri konsep tasyrik niat, mulai dari kaidah yang berkaitan hingga pendapat para ulama fikih.
Ada kaidah fikih yang berbunyi,
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya: “Segala sesuatu tergantung pada niatnya”. Kaidah ini menegaskan bahwa nilai hukum suatu perbuatan dalam Islam sangat bergantung pada niatnya.
Salah satu unsur dalam niat adalah ikhlas. Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan ikhlas adalah nilai tambahan dalam niat, di mana ikhlas tidak diperoleh tanpa niat dan terkadang niat bisa diperoleh tanpa harus ikhlas. Namun para ulama fikih membatasi hukum fikih pada niat saja, sedang urusan keikhlasan dipasrahkan kepada Allah sehingga tidak wajib mengatakan lillahi ta’ala dalam setiap ibadah.
Penyembelihan hewan wajib dilakukan dengan menyebut nama Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun. Bahkan Nabi Muhammad tidak boleh dijadikan sekutu dalam ibadah seperti penyembelihan. Syekh Bakri ad-Dimyati menjelaskan dalam kitab Ianah Tholibin:
(تنبيه) لا يقول باسم الله، واسم محمد فلو قال ذلك حرمت ذبيحته وكفر إن قصد التشريك فإن أطلق حلت الذبيحة وأثم بذلك. وإن قصد أذبح باسم الله وأتبرك باسم محمد، كره، وحلت الذبيحة
Artinya: “(Peringatan) Janganlah seseorang mengatakan, “Dengan nama Allah dan nama Muhammad.” Jika ia mengucapkan demikian, maka sembelihannya menjadi haram dan ia kafir jika ia berniat menyekutukan (Allah). Namun jika ia mengucapkannya tanpa maksud menyekutukan, maka sembelihannya halal, tetapi ia berdosa karena ucapan tersebut. Jika ia berniat “Aku menyembelih dengan nama Allah dan mencari berkah dengan nama Muhammad,” maka hukumnya makruh, dan sembelihannya tetap halal.”
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj menjelaskan alasan keharaman menyebut nama Nabi Muhammad bersamaan dengan nama Allah.
(وَلَا يَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ، وَاسْمِ مُحَمَّدٍ) أَيْ: يَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ لِلتَّشْرِيكِ؛ لِأَنَّ مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يُجْعَلَ الذَّبْحُ بِاسْمِهِ فَقَطْ كَمَا فِي الْيَمِينِ بِاسْمِهِ نَعَمْ إنْ أَرَادَ أَذْبَحُ بِاسْمِ اللَّهِ، وَأَتَبَرَّكُ بِاسْمِ مُحَمَّدٍ كُرِهَ فَقَطْ
Artinya: “Dan tidak boleh seseorang mengucapkan (Dengan nama Allah dan nama Muhammad), karena ini haram dilakukan karena mengandung penyekutuan (tasyrik), karena hanya Allah yang berhak dijadikan satu-satunya nama dalam penyembelihan, sebagaimana dalam sumpah pun hanya boleh atas nama-Nya. Namun, jika maksudnya adalah ‘Saya menyembelih dengan nama Allah, dan mencari berkah dengan nama Muhammad’ maka hukumnya makruh saja.”
Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa niat merupakan aspek penting dalam menentukan nilai dan keabsahan sebuah ibadah. Tasyrik dalam niat bukanlah perkara sepele, karena ia menyentuh inti dari ibadah. Di momen Iduladha, ketika semangat berkurban menguat, penting bagi kita untuk menegaskan kembali orientasi niat. Jangan sampai ibadah yang begitu mulia ternodai oleh motif-motif duniawi, seperti pencitraan atau harapan pujian.
Penulis: Reva Alfa Saputra/Semester 4