Search
Close this search box.

Saran Fikih atas Acara Mata Najwa Kemarin

asdasdasdasdas

KAMPUS POJOK – Beberapa hari lalu, Acara Mata Najwa yang digelar di Universitas Gajah Mada mengundang tamu yang begitu istimewa. Yakni, mereka para bakal calon presiden: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Mereka saling memaparkan gagasan utamanya untuk memikat publik agar nanti terpilih di Pemilu 2024.

Perbedaan pendapat pun bertebaran di kolom komentar. Ada yang membela Pak Anies; ada yang mendukung Pak Ganjar; ada yang mengunggulkan Prabowo. Dan pastinya, ada yang diam tak berkomentar. Dalam benak mereka mungkin masih bingung mau memihak siapa nantinya. 

Karena itu, kita agaknya perlu sedikit flashback beberapa abad lalu. Saat para sahabat Nabi sedang bingung memilih siapa yang akan menggantikan beliau. Kemudian sepakat memilih Sayyidina Abu Bakar dengan beberapa alasan, salah satunya karena beliau pernah menggantikan Nabi Muhammad menjadi imam saat beliau sakit.

Dalam kajian Fikih, kita mengenal namanya salat berjamaah. Sebuah jamaah harus terdiri dari imam dan makmum yang mengikutinya. Keduanya akan menciptakan sebuah keteraturan. Tanpa seorang imam, orang yang salat akan terlihat tak teratur. Meskipun beberapa orang takbir secara bersamaan, akhirnya tentu tak serentak karena kecepatan salat orang berbeda-beda.

Begitu lah gambaran kita dalam bernegara, setidaknya yang dikiaskan oleh para sahabat. Tanpa ada pemimpin, rakyat akan kocar-kacir. Tak ada yang mereka jadikan panutan dan nantinya akan terjerumus dalam hukum rimba yang kelam. 

Dengan pertimbangan demikian, setelah kewafatan rasulullah, para sahabat segera membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin. Awalnya, terjadi pergolakan di Tsaqifah Bani Sa’idah antara kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka saling mengunggulkan golongannya dari golongan siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad.

Dari kejadian tersebut, Ibnu Khaldun menyebutkan dalam kitabnya rumusan fikih. Beliau mengatakan, bahwa pengangkatan pemimpin dalam Islam hukumnya wajib, berdasarkan ijmak (kesepakatan) para sahabat dan tabi’in.

Bila tidak ada pemimpin, salah satu konsekuensi logisnya adalah di antara masyarakat akan terjadi konflik karena beragamnya kepentingan dan tujuan masing-masing individu. Seperti analogi jamaah tadi: kecepatan salat setiap orang berbeda-beda. Keberadaan pemimpin pun bisa menjadi perantara untuk menghindari pertumpahan darah. Ini selaras dengan maqashid al-Syariah dalam ilmu Ushul Fikih.

Kriteria Pemimpin

Dari situ, Fikih Siyasah –aturan hukum syariat dalam berpolitik— hadir sebagai solusi dengan menetapkan beberapa kriteria pemimpin. Karena pemimpin memiliki pengaruh yang besar, maka butuh kriteria dalam menetapkannya. Seperti paparan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Setidaknya ada lima kriteria yang disebutkan beliau, yaitu:

Pertama, berpengetahuan. Hal ini sudah jelas, sebab pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan. Dengan pengetahuan yang baik, pemimpin dapat memikirkan strategi yang matang dalam memanajemen pihak-pihak di bawahnya.

Kedua, memiliki integritas. Artinya, seorang pemimpin harus bisa menyatukan elemen-elemen di bawahnya. Tanpa ada komunikasi dan jalinan yang baik, sistem pemerintahan akan bobrok dan amburadul.

Ketiga, kompeten. Dalam artian, pemimpin harus berani mengambil risiko dengan mempertimbangkannya matang-matang. Begitu banyak keputusan yang harus diambil setiap waktu, membuat pemimpin harus mampu berpikir jernih untuk menetapkan kapan keputusan diambil. Sehingga, ia dapat menjaga keutuhan masyarakat dan bisa memunculkan maslahat.

Keempat, sehat jasmani dan rohani. Kesehatan ini sangat berpengaruh pada pelaksanaan tugas seorang pemimpin. Karena bila pemimpin sakit-sakitan atau terganggu jiwanya, maka sistem akan berantakan. Kondisi tersebut sama halnya dengan ketiadaan pemimpin, bukan?

Kelima, memiliki garis keturunan dari suku Quraisy. Harus keturunan rasulullah lah yang pantas menjadi pemimpin menurut kriteria terakhir ini. Namun, kriteria ini masih menjadi polemik di antara para ulama sebab mempertimbangkan beberapa hal. 

Bila di pemilihan nanti tak ada habib yang mencalonkan diri, tenang saja. Toh, kriteria lain masih ada dan sudah disepakati. Kalau pun masih tidak ada calon yang memenuhi empat kriteria tersebut, tak perlu risau. Pilih saja yang paling mendekati, punya tiga kriteria mungkin. 

Jadi teringat satu Kaidah Fikih yang berbunyi, ma la yudraku kulluh la tutraku kulluh. Artinya, “Bila tidak memenuhi semua, maka jangan tinggalkan semua.” Intinya, jangan golput!

Redaktur: Muhammad Miqdadul Anam
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Saran Fikih atas Acara Mata Najwa Kemarin

asdasdasdasdas

Tulisan Lainnya