Antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad Saat Bertemu Allah

Bulan Rajab menyimpan satu peristiwa yang cukup menarik untuk kita ulas. Peristiwa ini mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Kita juga sering merayakan peristiwa tersebut. Cerita apa itu kira-kira? Ada yang tahu?

Nah, peristiwa apalagi kalau bukan perihal peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang sempat membuat masyarakat sekitar tidak percaya atas apa yang telah beliau alami. Peristiwa yang hingga kini masih aktif diperingati oleh masyarakat muslim sedunia. Terlebih, peristiwa tersebut resmi menjadi hari Nasional, yang berimbas pada liburnya sebagian kegiatan masyarakat

Namun, pada tulisan kali ini, kita tidak akan membahas secara muluk-muluk perihal peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Kita hanya akan menilik satu cerita yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Jelas, ya?

Sebelumnya, penulis menukil satu ayat yang membahas perihal peristiwa Isra’ Mi’raj. Tepatnya ayat pertama dari surah Al-Isra’,

سُبحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسرَىٰ بِعَبدِهِۦ لَيلا مِّنَ ٱلمَسجِدِ ٱلحَرَامِ إِلَى ٱلمَسجِدِ ٱلأَقصَا ٱلَّذِي بَٰرَكنَا حَولَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِن ءَايَٰتِنَآ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١

Ayat di atas seringkali dinukil oleh sebagian penceramah yang biasanya “laku laris” di saat momen bulan Rajab tiba. Oleh karena itu, kiranya di sini penulis tidak mencantumkan terjemah ayat di atas, karena kemasyhurannya di telinga kita. 

Sejarah Masjid Al-Aqsa

Imam Ali Shabuni, pengarang kitab Tafsir As-Shofwah At-Tafasir, memahami kenapa masjid yang berada di Yerusalem mendapat julukan sebagai Masjid Al-Aqsa. Satu alasan pasti, karena jarak antara kota Mekah dengan kota Yerusalem sangatlah jauh. Secara bahasa, kata Al-Aqsa sendiri berarti “paling jauh.” Jadi, memang dari kota Mekah, masjid tersebut terlihat sangat jauh. Masjid al-Aqsa juga terkenal dengan sebutan Baitul Maqdis. Dengan jarak sejauh itu, Nabi bersama malaikat Jibril yang berkendaraan Burak, bisa berjalan cepat tanpa membuang usaha yang ekstra. 

Oleh karena itu, tampak jelas korelasi antara teks pembukaan ayat tersebut, yakni berupa pujian kepada Allah, berlanjut dengan peristiwa di luar nalar yang terjadi kepadaNabi. Itu semua tidak lain kecuali karena kekuasaan Allah Swt. 

Singkat cerita, ketika Nabi dan malaikat sudah mencapai Sidratul Muntaha, sempat terjadi dialog antara Nabi dan malaikat Jibril. 

“Wahai Nabi, saya ndak kuat. Ruh saya tidak mampu menembus maqam selanjutnya untuk bisa bertemu langsung dengan Allah.” Tutur malaikat Jibril kepada Nabi.

“Apakah engkau akan meninggalkan Saya sendiri, wahai Jibril? Temani Saya untuk melanjutkan perjalanan ini!” Nabi masih ingin bersama malaikat Jibril untuk menyelesaikan perjalanan tersebut.  

Ketika malaikat Jibril memaksa untuk melangkah lagi bersama Nabi, seketika itu ruh Jibril menyusut, mengecil menjadi seukuran burung pipit. Jelas, tempat tersebut bukan maqom (kedudukan) yang seharusnya dilalui oleh siapapun kecuali Nabi dan Allah. Akhirnya terpaksa, Nabi meneruskan perjalanan tersebut sendiri. Sebelum melanjutkan perjalanan, Jibril sempat meminta untuk disampaikan salamnya kepada Allah Swt.

Ketika Nabi bertemu dengan Allah Swt, saling sapa salam pun terjadi. Setelah itu, Allah memerintahkan umat Nabi untuk melaksanakan salat sebanyak lima puluh waktu dalam sehari semalam. Sempat terjadi negosiasi yang dilakukan Nabi. Akhirnya, kewajiban yang dibebankan oleh Allah hanya lima waktu saja dalam sehari semalam.  

Pertemuan Nabi Musa dengan Allah

Selain cerita perihal peristiwa Isra’ Mi’raj, yakni pertemuan antara Nabi Muhammad dan Allah Swt, ada juga satu cerita yang sempat diabadikan oleh Allah di dalam ayat suci al-Quran. Ada yang tahu, cerita apa yang akan penulis nukil pada catatan kali ini? Nah, jawabannya sudah bisa ditebak dengan membaca judul tulisan ini.

Cerita mengenai Nabi Musa yang pernah meminta untuk bertemu dengan Allah. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai cerita tersebut, kita bisa menilik satu ayat al-Quran, tepatnya surah al-A’raf ayat 143 sebagai berikut,

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُر إِلَيكَ قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُر إِلَى ٱلجَبَلِ فَإِنِ ٱستَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوفَ تَرَىٰنِي فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكّا وَخَرَّ مُوسَىٰ ‌صَعِقا فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبحَٰنَكَ تُبتُ إِلَيكَ وَأَنَا أَوَّلُ ٱلمُؤمِنِينَ ١٤٣

Ayat di atas bercerita mengenai permintaan Nabi Musa untuk bisa melihat Allah. Allah pun menegaskan bahwa Nabi Musa tidak akan mampu untuk melihat-Nya. Namun, karena Nabi Musa masih ngeyel, akhirnya Allah memerintah Nabi Musa untuk melihat ke arah gunung. Allah memberikan arahan kepada Nabi Musa, yakni ketika gunung tersebut masih berdiri tegak di saat Allah mulai menampakkan diri-Nya, maka Nabi Musa bisa dipastikan akan segera melihat-Nya. Namun apa yang terjadi? 

Ketika Allah mulai menampakkan Cahaya-Nya, seketika gunung yang berukuran besar tersebut hancur luluh menjadi debu. Gunung tersebut tidak mampu melihat kebesaran Allah. Nabi Musa pun terlihat pingsan setelah melihat hancurnya gunung tersebut. Ketika beliau sadar, akhirnya beliau bertaubat kepada Allah dan meyakini akan kebesaran-Nya.

Kesimpulan

Dari sini ada sebuah kesimpulan yang cukup menarik dari sebagian ulama. Keterangan dari Imam Hafni, dari kitab Futuhatul Wahab, menjelaskan perihal kondisi ketika Nabi Muhammad dan Nabi Musa bertemu dengan Allah. Ketika Nabi Muhammad bertemu dengan Allah, tidak ada satu kesulitan pun yang dialami oleh Nabi. Jibril, yang statusnya adalah malaikat, tidak mampu bertemu dengan Allah secara langsung. Sedang Nabi Muhammad, sebagai sosok manusia, mampu bertemu secara langsung dengan Allah Swt.

Sedang dalam konteks pertemuan antara Nabi Musa dan Allah, Nabi Musa pun sebenarnya belum bertemu dengan Allah secara langsung. Ketika Allah mulai menampakkan, Nabi Musa pun langsung pingsan karena tidak mampu menampung daya kekuasaan Allah yang begitu besarnya. 

Kenapa keduanya berbeda? Kenapa Nabi Muhammad bisa sedang Nabi Musa tidak bisa? Satu alasan pasti yang diutarakan oleh para ulama adalah, karena pertemuan antara Nabi Muhammad dan Allah adalah pertemuan yang diinginkan oleh Allah. Yang ingin itu Allah. Sedang dalam konteks pertemuan Nabi Musa dan Allah, yang ingin itu Nabi Musa, bukan Allah. Maka dari itu, Nabi Muhammad mampu secara langsung bertemu dengan Allah Swt. 

Disarikan dari kitab:

* Tafsir As-Shofwah At-Tafasir karangan Imam Ali Shabuni

* Hasyiah Tarmasi  karangan Imam Mahfud Tarmasi 

Redaktur: Moch Vicky Shahrul Hermawan
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Juara Musabaqah Qira’atil Kutub dan Olimpiade Nahwu Shorof

Beberapa mahasantri Ma’had Aly An-Nur II telah mengikuti lomba baca kitab dan olimpiade nahwu shorof. Di antaranya adalah M. Ihsan Khoironi, Maqdum Alifur Rofiq, dan Muhtadin Rahayu. Ketiga Mahasantri tersebut mampu memenangkan lomba yang berlangsung di Banyuwangi pada akhir Februari lalu.

Perlu diketahui bahwa mahasantri Ma’had Aly setiap harinya sudah melalui kegiatan yang lumayan padat. Sejak pagi hingga malam telah melalui pengajian-pengajian meliputi pengajian kepada masyayikh maupun pengajian yang berhubungan dengan mata kuliahnya.

Mahasantri pertama adalah M Ihsan Khoironi semester 4, yang telah menjadi juara harapan 2 lomba baca kitab Fathul Qorib. Selain itu, perlu diketahui bahwa di kelas  ia juga salah satu ketua bidang studi, yakni studi ushul fiqh, yang menjadikannya memiliki 1 tanggungan lebih banyak daripada temannya. 

Mahasantri selanjutnya adalah Maqdum Alifur Rofiq semester 4, yang menjadi juara 2 lomba olimpiade nahwu shorof. Begitu juga posisinya di kelas yang merupakan  salah satu ketua bidang studi, yakni studi ilmu nahwu. 

mahasantri terakhir adalah Muhtadin Rahayu semester 6, yang menjadi juara 1 lomba baca kitab Fathul Qorib. Posisi dia di kelas adalah sebagai Rais Aam yakni ketua yang menaungi keseluruhan bagian dari kelas, salah satunya adalah ketua bidang studi.

  Dalam persiapan lomba tersebut, mereka selalu mengoptimalkan waktu agar mampu menyisihkan waktunya untuk tetap konsisten dalam mempersiapkan lomba tanpa harus mengganggu proses studinya di perkuliahan. 

Menjadi kebahagiaan tersendiri tentunya, karena dari tiga perwakilan Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II, semuanya mampu menorehkan  juara. Perjuangan mereka untuk lomba, dapat memotivasi kita untuk tetap berusaha dan pantang menyerah dalam menjalankan tuntutan yang berlipat-lipat.   

Redaktur: Rafli N. R.
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Kegiatan Donor Darah, Bentuk Kepedulian Terhadap Sesama

Pada Senin, 27 Februari 2023, SMP An-Nur Bululawang bekerja sama dengan UTD (Unit Transfusi Darah) Kab. Malang dalam mengadakan kegiatan Donor Darah. Kegiatan ini dibuka untuk umum, semua pihak mulai dari SMA, Mahasantri, sampai Guru boleh menjadi pendonor, asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan ini diselenggarakan di ruang UKS SMP An-Nur Bululawang.

Donor Darah merupakan kegiatan rutinan yang diadakan tiap 3 bulan sekali di SMP An-Nur Bululawang. Kali ini kegiatan donor darah di SMP An-Nur sudah dilaksanakan untuk yang ke-6 kalinya.

Ada 2 macam donor darah. Yaitu  DPD (Donor Darah Pengganti), artinya pendonor mengetahui penerima darah kita, dan DPS (Donor Darah Sukarela), artinya pendonor memberi darah dengan sukarela tanpa mengetahui penerima darahnya. Untuk yang kita adakan kali ini termasuk dari DPS (Donor Darah Sukarela), terang Sholikul Huda, selaku panitia pelaksana.

Kegiatan ini bertujuan membantu antar sesama melalui proses “Transfusi Darah”. melalui proses ini, darah yang terkumpul akan diuji terlebih dahulu sebelum disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Untuk pelaksanaan donor darah, peserta wajib mengisi daftar hadir dan formulir yang telah disediakan sebelum melakukan tes darah dan pH, untuk yang sebelumnya sudah pernah melakukan donor darah maka cukup melakukan tes pH saja, setelah itu para peserta akan menunggu namanya dipanggil oleh dokter .

Ada banyak orang yang mendonorkan darahnya, bahkan antriannya sangat panjang, ini menunjukkan semangat membantu antar sesama. Para pendonor akan diberi sekotak nasi dan sekantong jajan sebagai bentuk terima kasih atas kesukarelaan mendonorkan darahnya.   

Saya sangat senang sekali, karena dengan donor darah saya dapat membantu orang lain yang membutuhkan, selain itu juga dapat makanan sama jajan,” jawab salah satu pendonor ketika ditanya kesan yang didapat melalui donor darah.

Banyak manfaat yang diperoleh dari donor darah, selain membantu sesama, donor darah dapat menjaga kesehatan jantung, meningkatkan produksi sel darah merah, dll.

Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk membantu orang lain, salah satunya adalah dengan berpartisipasi dalam kegiatan donor darah. Marilah kita menyemarakkan semangat membantu antar sesama agar tercipta kehidupan yang damai dan tenteram.

Redaktur: Samsul Arifin
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tradisi “Tonjokan” Semi Suapan 

Tradisi yang berkembang di masyarakat yang diwariskan para leluhur bangsa kita memang patut untuk kita pertahankan. Karena hal ini sebagai perwujudan kita sebagai bangsa yang berbudi luhur dan mengapresiasi budaya yang diturunkan nenek moyang. Namun, kita sebagai manusia yang memiliki nilai spiritualitas dengan segala aturannya, perlu juga mengoreksi segala budaya yang ada di masyarakat. Apakah sejalan dengan ajaran yang telah digariskan oleh syariat Islam atau malah melenceng jauh.

Salah satu tradisi yang menarik untuk dibahas adalah tradisi “Tonjokan”. Tonjokan adalah kegiatan menyebarkan undangan hajatan seperti walimah nikah, khitanan, pasca kelahiran dan lain-lain. Tradisi ini juga ada kegiatan memberikan barang kepada orang-orang terdekat dimulai dari sanak saudara, tetangga sekampung dan orang lain dengan harapan besar orang yang “ditonjok” bisa menghadiri acara yang diselenggarakan si “penonjok”. Peristiwa yang lumrah terjadi di masyarakat adalah barang yang diberikan berupa nasi dan lauk pauk yang diwadahi kardus makanan atau yang lain. Namun, ada salah satu daerah dengan tradisi tonjokan yang tidak lumrah, yakni Gondang Wetan, Pasuruan. Masyarakatnya menggunakan rokok Ares sebagai barang pemberian, dan undangan hajatan walimah ursy adalah yang paling sering dibarengi tonjokkan dibanding hajatan-hajatan yang lain.

Pada dasarnya tonjokkan ini bukan kewajiban bagi orang yang nduwe gawe (pemilik hajat). Sekali lagi ini hanya tradisi yang turun temurun dari mbah-mbah kita. Selain tujuan kehadiran orang yang diundang, tonjokan ini adalah sebagai bentuk rasa ingin membantu orang lain. 

Sebab dengan memberi nasi dan lauk pauk semisal, maka sama dengan kita membantu memenuhi kebutuhan orang lain. Bahkan di beberapa tempat, waktu pengantaran tonjokan itu dianjurkan pada pagi hari, agar orang yang ditonjok tidak perlu repot-repot memasak untuk sarapan. Artinya, kegiatan ini pada dasarnya memiliki dampak positif dalam menjaga hubungan sosial di antara masyarakat.

Ironisnya, tradisi ini tidak selamanya indah. Karena pada kondisi tertentu tradisi ini bisa menimbulkan tekanan pada salah satu pihak baik secara mental ataupun secara finansial. Hal ini dikarenakan adat yang berlaku di masyarakat seolah-olah mewajibkan pihak yang ditonjok menghadiri hajatan yang diselenggarakan. Bahkan di daerah tertentu orang yang tidak menghadirinya dianggap buruk. Jangankan tidak hadir, ketika isi amplop yang diberikan nominalnya tidak begitu besar, orang lain bisa memandang agak sinis padanya. 

  Suatu artikel menceritakan bahwa orang yang ditonjok pada saat ekonomi keluarga memprihatinkan dan tidak ada uang untuk dijadikan amplop buwuhan (kondangan) maka dia akan pinjam uang ke tetangga atau saudaranya. Fenomena seperti ini biasa terjadi pada orang-orang yang memang kualitas hidupnya di bawah rata-rata dan penghasilan kerja yang tidak seberapa. 

Mungkin ini yang sering menjadi keluh kesah orang yang sering kena tonjokkan di masa krisisnya keuangan dan menumpuknya kebutuhan atau tanggungan. Lalu bagaimana ilmu fiqih menanggapi fenomena yang kaprah terjadi di lingkungan kita ini?

Respon Fikih Mengenai Tradisi “Tonjokan”

 Salah satu kitab fiqih yang populer di kalangan pesantren yaitu Fath Al-Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibari sebenarnya sudah menyinggung permasalahan seperti ini. Dalam kitabnya, beliau mengutip perkataan gurunya yaitu Syekh Ibnu Hajar: “Menurut qoul awjah (unggul) bingkisan atau pemberian yang lumrah diberikan saat mengadakan kegiatan-kegiatan pesta itu termasuk hibah bukan hutang yang wajib untuk ada gantinya. Meskipun adat istiadat yang berlaku di situ mengembalikan dengan yang semisalnya. Dalam kitab Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin Syekh Abu Bakar Syatha memberikan tambahan keterangan dari kitab Fath Al-Mu’in dengan mengutip redaksi dari kitab  Tuhfah Al-Muhtaj karya  Syekh Ibnu Hajar: “Menurut qoul awjah (unggul) bingkisan yang biasanya diberikan saat pesta-pesta itu adalah hibah. Adat yang berlaku tidak bisa mempengaruhinya karena keambiguan akad sekaligus status bingkisan tersebut, dengan catatan dari pihak pemberi tidak mengucapkan “Ambillah!” dan tanpa niat menghutangi. Maka ketika di kemudian hari si pemberi/ahli warisnya menuntut ganti dari pemberiannya, maka pihak pemberi yang dimenangkan. 

Dengan ini jumhur ulama menilai mutlak hukum bingkisan tersebut adalah hutang. Lalu Ibnu Hajar melihat sebagian ulama ketika menukil pendapat jumhur ulama tadi dan Syekh Bulqini, bahwa akadnya adalah hibah. Mereka berkomentar : “Akad hibah itu diarahkan ketika memang adat di daerah tersebut ada pengembalian, dan menjadi akad hibah jika adatnya tidak ada pengembalian.” Mereka menambahi bahwa status bingkisan ini berbeda disebabkan situasi atau kondisi adat manusia dan daerah yang berbeda pula. Ketika sudah tampak jelas perbedaannya, maka hukumnya sesuai keterangan yang telah dijelaskan.

Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitab Hasyiyah Bujairami ‘Ala Syarh Manhaj menjelaskan: “Keterangan yang digali dari pendapat Syekh Romli dan Syekh Ibnu Hajar dan kedua hasyiyahnya, tidak adanya kewajiban mengembalikan bingkisan seperti di atas saat pemberi menaruh bingkisan di tangan pemilik hajat atau orang yang diizinkan, kecuali dengan tiga syarat: 

1. Terdapat lafal seperti “ambillah” dan sejenisnya. 

2. Niatan untuk dikembalikan dari pemberi, dan mereka akan jadi pemenang ketika ada perselisihan dalam status akad. 

3. Adat yang berlaku ada ganti rugi dari pemberian tersebut. 

Maka ketika tiga syarat ini tidak terpenuhi, status bingkisan adalah hibah.

  Inilah pendapat para ulama yang penulis kutip dari kitab I’anah Ath-Thalibin tentang bingkisan yang diberikan di suatu pesta seperti pernikahan, meskipun ada perbedaan tetapi terlalu signifikan. Pada intinya mereka semua mengedepankan akad yang diucapkan, dan jika sighat-nya kinayah maka diperlukan niat dalam hati untuk mengarahkan status suatu barang.

Kalau kita terapkan dalam tradisi tonjokan maka status pemberian adalah hibah, dengan syarat pemberi tonjokan tidak mensyaratkan adanya ganti. Ketika pemberi mengucapkan kalimat yang bersifat kinayah seperti “ambillah!” tapi ia meniatkan dalam hati untuk menghutangi, maka akadnya menjadi akad hutang secara hukum, tanpa meninjau adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa suatu transaksi perlu adanya sighat untuk memperjelas status barang yang ditransaksikan. Sehingga tidak terjadi keambiguan atau tidak jelasan dalam suatu transaksi. Bahkan adat yang berlaku pun tidak bisa menentukan status barang, jika tidak ada sighat yang jelas saat transaksi. Maka dari itu fungsi sighat dalam suatu transaksi sangat vital, dan vitalitas shighat tidak hanya berlaku pada transaksi seperti di atas namun juga pada jual beli, sewa, gadai, wakalah dan lain-lain.

Redaktur: Reo Ahnan R.
Penyunting: Syachrizal Nur R. S.

Sosialisasi Program Studi Ma’had Aly An-Nur II, Studi Lanjut Setelah SMA

Jelang ujian kelas XII, SMA An-Nur menggelar kegiatan Sosialisasi Program Studi Lanjut Kelas XII. Kegiatan ini bertempat di gedung Kelas Idaman SMA An-Nur lantai 3 dan hanya dihadiri oleh siswa SMA kelas XII. Kegiatan ini bertujuan mengenalkan siswa pada program-program studi setelah SMA yang dimiliki oleh PP. An-Nur II Al-Murtadlo, Senin (20/2/2023).

Salah satu program studi lanjut yang dimiliki oleh PP. An-Nur II ialah Ma’had Aly. Pada kesempatan kali ini Ma’had Aly An-Nur II ikut hadir dalam acara tersebut untuk mengenalkan Ma’had Aly kepada para siswa kelas XII. Bersama Ust. Mukti Ali, Ust.Kholili, Ust.Dzulfikar dan rekan-rekan yang lain para siswa diajak untuk mengenal lebih dekat instansi yang satu ini.

Tujuan Sosialisasi

Para siswa diajak untuk mengetahui  apa itu Ma’had Aly, visi-misinya, kapan didirikan, siapa pendirinya, selain itu para siswa ditunjukkan kegiatan-kegiatan, fasilitas, prestasi yang diraih di Ma’had Aly An-Nur II. Ma’had Aly juga memberitahukan adanya beasiswa bagi santri yang lulus tes beasiswa, ada dua beasiswa di Ma’had Aly yang berlaku setiap tahunnya, yakni beasiswa BAZNAS dan PemProv.

Selain itu para siswa juga ditampilkan film karya dari Ma’had Aly An-Nur II, yang sempat masuk ke dalam nominasi aktor terbaik, para siswa juga dikenalkan ekstrakurikuler yang ada di Ma’had Aly An-Nur II.

Masa-masa akhir SMA merupakan masa-masa dimana para siswa akan tergerak hati dan pikirannya untuk memikirkan kelanjutan pendidikannya seusai SMA. Selain program studi yang lengkap mulai dari MI, SMP, SMA. An-Nur II juga memiliki program studi lanjut SMA yaitu Ma’had Aly An-Nur, atau program “Kuliah sak ngajine”

Mengingat butuhnya didirikan sekolah formal agar para santri di An-Nur II tidak hanya pandai mengaji saja. Tapi juga agar mengetahui ilmu umum, sehingga didirikanlah sekolah formal sampai tingkat tertinggi.

Ma’had Aly juga merupakan solusi bagi para siswa SMA yang sudah berada dikelas akhir untuk melanjutkan pendidikannya. Yang didalamnya para siswa akan diajak mempelajari ilmu agama Islam secara mendalam.

Redaktur: Samsul Arifin
Penyunting: M. Ihsan Khoironi