Search
Close this search box.

Tradisi “Tonjokan” Semi Suapan 

walimahursy

Tradisi yang berkembang di masyarakat yang diwariskan para leluhur bangsa kita memang patut untuk kita pertahankan. Karena hal ini sebagai perwujudan kita sebagai bangsa yang berbudi luhur dan mengapresiasi budaya yang diturunkan nenek moyang. Namun, kita sebagai manusia yang memiliki nilai spiritualitas dengan segala aturannya, perlu juga mengoreksi segala budaya yang ada di masyarakat. Apakah sejalan dengan ajaran yang telah digariskan oleh syariat Islam atau malah melenceng jauh.

Salah satu tradisi yang menarik untuk dibahas adalah tradisi “Tonjokan”. Tonjokan adalah kegiatan menyebarkan undangan hajatan seperti walimah nikah, khitanan, pasca kelahiran dan lain-lain. Tradisi ini juga ada kegiatan memberikan barang kepada orang-orang terdekat dimulai dari sanak saudara, tetangga sekampung dan orang lain dengan harapan besar orang yang “ditonjok” bisa menghadiri acara yang diselenggarakan si “penonjok”. Peristiwa yang lumrah terjadi di masyarakat adalah barang yang diberikan berupa nasi dan lauk pauk yang diwadahi kardus makanan atau yang lain. Namun, ada salah satu daerah dengan tradisi tonjokan yang tidak lumrah, yakni Gondang Wetan, Pasuruan. Masyarakatnya menggunakan rokok Ares sebagai barang pemberian, dan undangan hajatan walimah ursy adalah yang paling sering dibarengi tonjokkan dibanding hajatan-hajatan yang lain.

Pada dasarnya tonjokkan ini bukan kewajiban bagi orang yang nduwe gawe (pemilik hajat). Sekali lagi ini hanya tradisi yang turun temurun dari mbah-mbah kita. Selain tujuan kehadiran orang yang diundang, tonjokan ini adalah sebagai bentuk rasa ingin membantu orang lain. 

Sebab dengan memberi nasi dan lauk pauk semisal, maka sama dengan kita membantu memenuhi kebutuhan orang lain. Bahkan di beberapa tempat, waktu pengantaran tonjokan itu dianjurkan pada pagi hari, agar orang yang ditonjok tidak perlu repot-repot memasak untuk sarapan. Artinya, kegiatan ini pada dasarnya memiliki dampak positif dalam menjaga hubungan sosial di antara masyarakat.

Ironisnya, tradisi ini tidak selamanya indah. Karena pada kondisi tertentu tradisi ini bisa menimbulkan tekanan pada salah satu pihak baik secara mental ataupun secara finansial. Hal ini dikarenakan adat yang berlaku di masyarakat seolah-olah mewajibkan pihak yang ditonjok menghadiri hajatan yang diselenggarakan. Bahkan di daerah tertentu orang yang tidak menghadirinya dianggap buruk. Jangankan tidak hadir, ketika isi amplop yang diberikan nominalnya tidak begitu besar, orang lain bisa memandang agak sinis padanya. 

  Suatu artikel menceritakan bahwa orang yang ditonjok pada saat ekonomi keluarga memprihatinkan dan tidak ada uang untuk dijadikan amplop buwuhan (kondangan) maka dia akan pinjam uang ke tetangga atau saudaranya. Fenomena seperti ini biasa terjadi pada orang-orang yang memang kualitas hidupnya di bawah rata-rata dan penghasilan kerja yang tidak seberapa. 

Mungkin ini yang sering menjadi keluh kesah orang yang sering kena tonjokkan di masa krisisnya keuangan dan menumpuknya kebutuhan atau tanggungan. Lalu bagaimana ilmu fiqih menanggapi fenomena yang kaprah terjadi di lingkungan kita ini?

Respon Fikih Mengenai Tradisi “Tonjokan”

 Salah satu kitab fiqih yang populer di kalangan pesantren yaitu Fath Al-Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibari sebenarnya sudah menyinggung permasalahan seperti ini. Dalam kitabnya, beliau mengutip perkataan gurunya yaitu Syekh Ibnu Hajar: “Menurut qoul awjah (unggul) bingkisan atau pemberian yang lumrah diberikan saat mengadakan kegiatan-kegiatan pesta itu termasuk hibah bukan hutang yang wajib untuk ada gantinya. Meskipun adat istiadat yang berlaku di situ mengembalikan dengan yang semisalnya. Dalam kitab Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin Syekh Abu Bakar Syatha memberikan tambahan keterangan dari kitab Fath Al-Mu’in dengan mengutip redaksi dari kitab  Tuhfah Al-Muhtaj karya  Syekh Ibnu Hajar: “Menurut qoul awjah (unggul) bingkisan yang biasanya diberikan saat pesta-pesta itu adalah hibah. Adat yang berlaku tidak bisa mempengaruhinya karena keambiguan akad sekaligus status bingkisan tersebut, dengan catatan dari pihak pemberi tidak mengucapkan “Ambillah!” dan tanpa niat menghutangi. Maka ketika di kemudian hari si pemberi/ahli warisnya menuntut ganti dari pemberiannya, maka pihak pemberi yang dimenangkan. 

Dengan ini jumhur ulama menilai mutlak hukum bingkisan tersebut adalah hutang. Lalu Ibnu Hajar melihat sebagian ulama ketika menukil pendapat jumhur ulama tadi dan Syekh Bulqini, bahwa akadnya adalah hibah. Mereka berkomentar : “Akad hibah itu diarahkan ketika memang adat di daerah tersebut ada pengembalian, dan menjadi akad hibah jika adatnya tidak ada pengembalian.” Mereka menambahi bahwa status bingkisan ini berbeda disebabkan situasi atau kondisi adat manusia dan daerah yang berbeda pula. Ketika sudah tampak jelas perbedaannya, maka hukumnya sesuai keterangan yang telah dijelaskan.

Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami dalam kitab Hasyiyah Bujairami ‘Ala Syarh Manhaj menjelaskan: “Keterangan yang digali dari pendapat Syekh Romli dan Syekh Ibnu Hajar dan kedua hasyiyahnya, tidak adanya kewajiban mengembalikan bingkisan seperti di atas saat pemberi menaruh bingkisan di tangan pemilik hajat atau orang yang diizinkan, kecuali dengan tiga syarat: 

1. Terdapat lafal seperti “ambillah” dan sejenisnya. 

2. Niatan untuk dikembalikan dari pemberi, dan mereka akan jadi pemenang ketika ada perselisihan dalam status akad. 

3. Adat yang berlaku ada ganti rugi dari pemberian tersebut. 

Maka ketika tiga syarat ini tidak terpenuhi, status bingkisan adalah hibah.

  Inilah pendapat para ulama yang penulis kutip dari kitab I’anah Ath-Thalibin tentang bingkisan yang diberikan di suatu pesta seperti pernikahan, meskipun ada perbedaan tetapi terlalu signifikan. Pada intinya mereka semua mengedepankan akad yang diucapkan, dan jika sighat-nya kinayah maka diperlukan niat dalam hati untuk mengarahkan status suatu barang.

Kalau kita terapkan dalam tradisi tonjokan maka status pemberian adalah hibah, dengan syarat pemberi tonjokan tidak mensyaratkan adanya ganti. Ketika pemberi mengucapkan kalimat yang bersifat kinayah seperti “ambillah!” tapi ia meniatkan dalam hati untuk menghutangi, maka akadnya menjadi akad hutang secara hukum, tanpa meninjau adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa suatu transaksi perlu adanya sighat untuk memperjelas status barang yang ditransaksikan. Sehingga tidak terjadi keambiguan atau tidak jelasan dalam suatu transaksi. Bahkan adat yang berlaku pun tidak bisa menentukan status barang, jika tidak ada sighat yang jelas saat transaksi. Maka dari itu fungsi sighat dalam suatu transaksi sangat vital, dan vitalitas shighat tidak hanya berlaku pada transaksi seperti di atas namun juga pada jual beli, sewa, gadai, wakalah dan lain-lain.

Redaktur: Reo Ahnan R.
Penyunting: Syachrizal Nur R. S.

Tulisan Lainnya

Tradisi “Tonjokan” Semi Suapan 

walimahursy

Tulisan Lainnya