Search
Close this search box.

Memahami Ayat Shalawat

infografis-keutamaan-sholawat-nabi-1_169

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابا مُّهِينا ٥٧ وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنا وَإِثۡما مُّبِينا ٥٨

Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

“Sungguh orang-orang yang menyakiti (menista) Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan bagi mereka azab yang menghinakan.”

“Orang-orang yang menyakiti mukminin dan mukminat, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, sungguh, mereka telah menanggung penderitaan dan dosa yang nyata.” (Q.S. al-Ahzab).

******

Analisa Ayat Dari Segi Teks

Secara bahasa, kata الصلاةas-Shalat” berarti doa dan meminta ampunan. Ritual umat Islam yang biasa dilakukan lima kali dalam sehari disebut dengan istilah “Salat” karena di dalam prakteknya, ritual tersebut mengandung doa dan permintaan ampun yang diajukan oleh pelakunya. Kata “as-Shalat” adakalanya juga bermakna “welas asih”, berdasar satu riwayat yang dinisbatkan kepada kanjeng Nabi Muhammad, 

«اللهمّ صلّ على آل أبي أوفى»

“Wahai Tuhan, berikanlah welas asih-Mu kepada keluarga Abi Aufa.”

*******

Menurut Imam al-Jauhari, kata النبي “an-Nabi” bisa dipahami sebagai sosok orang yang mengabarkan informasi yang berasal dari Tuhan. Lafad tersebut ketika ditinjau dari pola jamak, maka polanya bisa sebagai berikut, yakni أنبياء “Anbiya.” Dari sini, ada satu informasi yang hendak disampaikan oleh Imam Ali as-Shobuni. Beliau menjelaskan, ketika ada “Khitab” (firman Allah) yang ditunjukkan kepada Nabi atau Rasul, maka firman tersebut bisa langsung dipahami mengarah ke kanjeng Nabi Muhammad. 

يُؤْذُونَ الله ورسوله, bagaimana orang kafir pada saat itu bisa dikatakan menyakiti Allah? Para pakar  Islam menjelaskan, menyakiti Allah berarti menyifati Allah dengan sifat yang tidak patut disandarkan kepada-Nya. Misal, perkataan orang Yahudi, يد الله مغلولة (tangan (kekuasaan) Allah terbelenggu). Sedang dikatakan menyakiti Rasul-Nya berarti mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan dihadapan kanjeng Nabi. misal perkataan orang kafir, “Nabi itu orang gila, penyihir, pembohong besar dan lain sebagainya.”

لَعَنَهُمُ الله, ketika seseorang dikatakan sebagai orang yang dilaknat oleh Allah, berarti dia telah dijauhkan dari rahmat-Nya. Hal ini semakna dengan kata “Setan” yang berarti dijauhkan dari welas asih-Nya. Ketika seseorang berada dalam status ini, perlu menjaga dan memperhatikan dirinya. Karena sulit sekali ketika rahmat dan welas asih-Nya sudah menjauh dari seorang hamba. 

Analisa Dari Segi Makna Ijmali

Secara garis besar, pada ayat ini Allah hendak memberikan informasi kepada kita mengenai apa yang sudah diberikan oleh Allah kepada Nabi-Nya. Diantaranya pemberian tersebut adalah pangkat yang tinggi, kedudukan yang luhur di sisi-Nya. Tidak hanya itu, Nabi juga mendapat status kedudukan yang mulia di alam arwah. Dan semua hal yang sama sekali tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk selain Nabi Muhammad.

Lebih tegas lagi, ayat tersebut menjelaskan, Allah senantiasa memberikan welas asih-Nya kepada Nabi Muhammad. Sedang Malaikat, makhluk yang senantiasa taat kepada Allah, mendoakan dan memintakan ampun untuk Nabi Muhammad kepada Allah. Oleh karena itu, sebagai hamba sejati, hendaklah kita senantiasa mencitai Nabi dengan cara mengikuti ajaran beliau, serta membaca shalawat dan salam kepada beliau. Karena dengan membaca shalawat dan salam, kita tidak rugi. Malahan, keuntungan besar yang akan kita dapat. Salah satunya adalah syafaat beliau nanti di hari akhir.

اللهم صل على محمد وسلّم تسليماً كثيراً

Setelah menjelaskan beberapa perintah di atas, Ayat tersebut juga mengabari bahwa orang yang menyakiti Allah dan Nabi Muhammad, maka berhak baginya untuk disiksa dan menanggung murka dari-Nya. Untuk menanggapi orang seperti ini, Allah sudah menyiapkan siksaan yang sangat pedih berupa neraka yang bahan bakarnya dari golongan manusia sendiri.

Tidak hanya itu, ayat tersebut juga mengabarkan mengenai siksaan bagi mereka yang suka menyakiti orang lain. Jadi, bagi orang yang suka menyakiti sesama, atau bahkan makhluk lain semisal hewan dan tumbuhan, maka bersiaplah untuk mendapat siksaan dari Allah. Siksaan ini tidak hanya akan dirasakan mereka ketika hidup di dunia, namun juga akan dirasakan mereka nanti di hari akhir.

Analisa Ayat Dari Segi Pembacaan Teks

Para pakar Islam, berbeda pendapat dalam model pembacaan teks {إنّ اللَّهَ وملائكتُه}. Mayoritas ulama mengatakan, lafad ملائكتُه sambung dengan lafad اللَّهَ. Sehingga, pembacaan lafad tersebut adalah dibaca nashab karena menjadi isimnya إنّ. Ulama lain, semisal Imam Abdul Waris meriwayatkan dari Abu Amr, bahwa lafad ملائكتُه dibaca rofa karena menjadi mubtada dan khobarnya dibuang. Maka pengira-ngiraanya adalah إنَّ الله يصلي، وملائكته يصلّون. Lebih lanjut lagi, {يُصَلُّونَ عَلَى النبي} adalah susunan Fiil dan Fail yang bertempat rofa karena menjadi khobar dari إنَّ. Sedangkan untuk lafad {وَسَلِّمُواْ تَسْلِيماً}, maka susunan dari kata perintah dan objek. 

Analisa Ayat Melalui Tafsir 

Pertama, {إِنَّ الله وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ} di situ terdapat penekanan dengan menggunakan lafad awal. Jadi, berita yang dikabarkan oleh Allah adalah benar-benar terjadi dan perlu diperhatikan oleh para pendengarnya. Pada lafad tersebut juga menggunakan susunan jumlah Mubtada dan Khobar, sehingga memberikan pemahaman bahwa shalawat yang dilakukan oleh Allah dan Malaikat akan senantiasa berlanjut tidak ada batasan waktu. 

Kedua, memang Allah memerintah kepada kita untuk bersalawat kepada Nabi Muhammad. Seharusnya, pengucapan shalawat cukup dengan redaksi semisal, أصلي عليه. Yakni yang sesuai dengan cara manusia memuji dan bershalawat kepada Nabi. Namun, kenapa dalam prakteknya kita diharuskan menggunakan redaksi اللهم صلِّ على محمد yang secara arti kita membutuhkan Allah dalam bershalawat kepada Nabi? 

Dalam hal ini, para pakar Islam mencoba membeberkan beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah, kita sebagai manusia biasa, tidak tahu pasti mengenai kadar kewajiban dan bagaimana seharusnya memuji kanjeng Nabi Muhammad. Oleh karena itu, kita mewakilkan shalawat kepada Nabi Muhammad melalui Allah. Sehingga, redaksinya menggunakan اللهم صلِّ على محمد yang artinya, Wahai Tuhan! Berikanlah rahmatmu kepada kanjeng Nabi Muhammad!” 

Analisa Ayat Melalui Pemahaman Hukum Yang Terkandung

Hukum pertama, apa makna dari shalawat yang ditunjukkan oleh Allah dan para Malaikat kepada Nabi Muhammad? Dalam memahami hal ini, Pakar Islam terpecah belah dalam beberapa golongan. Golongan pertama memahami, makna salawat yang ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah bentuk memuliakan serta pujian-Nya terhadap Nabi. Pakar Islam yang termasuk dalam golongan ini adalah Imam Bukhori, dan sekelompok dari pakar Islam lainnya.

Golongan kedua, memahami makna dari shalawat yang ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah bentuk welas asih dan ampunan-Nya. Imam Hasan al-Basri dan Said bin Jabir termasuk dalam golongan ini. Ada juga yang mengatakan, maknanya adalah keberkahan dan kemuliaan yang senantiasa Malaikat pada kanjeng Nabi Muhammad dan berasal dari Allah.

Sedang makna dari shalawat yang ditunjukkan oleh para Malaikat kepada nabi Muhammad adalah doa dan permintaan ampun yang dilakukan oleh Malaikat untuk kanjeng Nabi. Tidak hanya permintaan ampun untuk kanjeng Nabi, untuk umat beliau juga ditunjukkan oleh Malaikat. Ini tidak lain karena keagungan derajat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Sehingga umatnya pun mendapat cipratan berkah doa dari Malaikat.

Dari sini, bisa dipahami bahwa makna antara shalawat yang ditunjukkan oleh para Malaikat kepada nabi Muhammad dan shalawat yang ditunjukkan oleh Allah memiliki titik perbedaan. Namun juga memiliki benang merah (persamaan) yang menghubungkan antara keduanya, yakni sama-sama bermakna positif untuk kanjeng Nabi Muhammad.

Hukum kedua, apakah shalawat kepada kanjeng Nabi dihukumi sunah atau wajib? Sebelumnya, ayat di atas mengindikasikan kepada kita, bahwa Allah memerintah kepada kita untuk bershalawat kepada kanjeng Nabi. Sehingga, kita bisa memahami, hukum bershalawat kepada kanjeng Nabi adalah wajib. Bahkan, menurut Imam Qurtubhi, hampir semua ulama sepakat, dalam seumur hidup, kita wajib minimal satu kali untuk bershalawat kepada Nabi. Hal ini disamakan dengan konteks membaca kalimat tauhid, yang diwajibkan bagi seseorang membaca satu kali dalam hidupnya. Sehingga, ketika ada seseorang yang selama hidupnya tidak pernah membaca shalawat, maka dia berdosa dan dianggap tidak pernah masuk agama Islam.

Pembahasan kemudian adalah, apakah ketika nama Nabi disebut di dalam suatu perkumpulan, pendengar wajib untuk menjawab? Pakar Islam berbeda pendapat dalam hal ini. Satu golongan mengatakan, wajib hukumnya bagi kita untuk mendoakan Nabi setiap kali nama beliau diucapkan. 

Golongan lain mengatakan, dalam suatu perkumpulan, kita hanya wajib mendoakan sekali ketika nama Nabi disebut. Bahkan ketika nama Nabi tersebut disebut berkali-kali. Jadi, cukup sekali ketika nama Nabi disebut berkali-kali. Dan golongan terakhir mengatakan, kita wajib mendoakan Nabi tanpa dibatasi jumlah. Dalam artian, meskipun di dalam suatu perkumpulan atau yang lain, kita diwajibkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad. Tidak terbatas oleh jumlah atau konteks perkumpulan. 

Hukum ketiga, apakah wajib membaca shalawat ketika sedang melaksanakan salat? Lagi-lagi, dalam memahami hal ini, ulama berbeda pendapat. Satu golongan mengatakan, mengatakan wajib dan ketika shalawat tidak dibaca, maka salat dianggap tidak sah. Ulama yang masuk dalam golongan ini adalah Imam Syafii dan Imam Ahmad. Golongan kedua, dan Imam Hanafi serta Imam Maliki termasuk dalam golongan ini mengatakan, pembacaan shalawat di dalam salat dihukumi sunah yang sangat dikokohkan. Namun, ketika tidak dibaca, maka salat tetap dianggap sah dan pelakunya berdosa.

******

 Sebagai paripurna dari tulisan ini, penulis hendak mencantumkan beberapa keutamaan yang akan diperoleh seseorang ketika berkenan membaca shalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad. Salah satunya adalah melalui hadis, 

«البخيل الذي من ذكرتُ عنده فلم يصلّ عليّ»

Kata Nabi, hakikat orang yang kikir (pelit) adalah dia yang ketika nama Nabi diucapkan (dan dia mendengar), namun dia tidak berkenan membacakan shalawat kepada beliau.”

Pada kesempatan lainnya, beliau juga bersabda,

«إنَّ أولى الناس بي يوم القيامة أكثرهم عليّ صلاة»

“Orang yang lebih utama (lebih dekat, lebih dicintai oleh Nabi) adalah dia yang paling banyak mengucapkan shalawat kepada beliau.”

Semoga kita bisa menjadi umat Nabi yang benar-benar mencintai beliau setulus hati kita. Mencintai beliau tidak cukup sekedar pernyataan, “Saya cinta Nabi.” Lebih dalam lagi, cinta kepada Nabi setidaknya kita berkenan untuk senantiasa membaca shalawat untuk beliau. Semoga wacana mulai awal hingga akhir ini tidak berhenti sebagai wacana semata. Kita benar-benar bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sekian! Semoga bermanfaat!

Disarikan dari Kitab Tafsir Ayat Ahkam karangan Imam Ali Shobuni.

Redaktur: Moch. Vicky Shahrul Hermawan

Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Memahami Ayat Shalawat

infografis-keutamaan-sholawat-nabi-1_169

Tulisan Lainnya