Search
Close this search box.

Perjalanan Hidup Abu Hanifah

Abu_Hanifa_Name copy (1)

Abu Hanifah (80- 150 H) lahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Tsabit, pedagang sutra yang masuk Islam dalam pemerintahan khulafaur rasyidin. Kakek Abu Hanifah, Zuthi, adalah tawanan pasukan muslim saat menaklukan Irak. Setelah dibebaskan, Zuthi mendapatkan hidayah dan masuk Islam. 

Semasa hidupnya Zuthi menjalin hubungan baik dengan Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi yang menetap di Kufah. Hubungan baik ini kemudian diteruskan oleh anaknya, Tsabit. Dikisahkan, Ali bin Abu Thalib mendoakan keturunan Tsabit agar selalu diberkahi Allah SWT. Yidak lama kemudian, Abu Hanifah lahir. Dia tumbuh seperti halnya anak kecil pada umumnya.

Masa Kecil dan Awal Pendidikan Abu Hanifah

Sejak kecil dia sudah hafal Al-Qur’an. Beliau menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengulangi hafalan agar tidak lupa. Pada bulan Ramadhan, Abu Hanifah bisa mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali berkat hafalannya. 

Abu Hanifah awalnya tidak terlalu serius belajar agama. Belajar agama hanyalah sambilan, bukan tujuan utama. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang di pasar. Maklum, beliau memang keturunan pedagang. 

Keseriusannya belajar timbul setelah bertemu Al-Sya’bi, seorang ulama besar saat itu. Al-Sya’bi menyarankan agar Abu Hanifah memperdalam ilmu agama dan mengikuti halaqah para ulama. “Kamu wajib memperdalam ilmu dan mengikuti halaqah para ulama. Karena kamu cerdas dan memiliki potensi yang sangat tinggi,” tutur Al-Sya’bi. 

Nasihat ini sangat membekas dalam hati beliau. Dia menunjuk orang lain untuk mengurusi dagangannya. Sesekali dia mengontrol dan memastikan usahanya lancar. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk belajar dan menghadiri halaqah ulama. Salah satu halaqah yang sering di hadiri Abu Hanifah adalah halaqah Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau adalah guru yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Abu Hanifah. Dia belajar selama 18 tahun kepada Hammad. Andaikan beliau tidak wafat tahun 120 H, tentu Abu Hanifah masih terus belajar kepadannya.

Setelah Hammad meninggal, Abu Hanifah diminta mengisi halaqah keagamaan di Kufah. Sebelum Islam datang, di Irak tradisi keilmuan sudah berkembang dan peradabannya sudah mapan. Ada banyak sekolah dan tempat diskusi. Filsafat termasuk salah satu disiplin keilmuan yang cukup diminati kala itu. Maraknya kajian filsafat ini berdampak terhadap berkembangnya kajian ilmu kalam (teologis) dalam Islam. Para intelektual muslim saat itu lebih banyak memperdalam ilmu kalam, logika, dan debat (jadal). Ketiga ilmu ini harus dikuasai untuk merespons pertanyaan dan permasalahan teologis yang dilontarkan oleh para filsuf.

Memilih Ilmu Fikih

Abu Hanifah pada mulanya memperdalam ilmu kalam. Beliau turut serta meramaikan perdebatan teologis pada waktu itu. Kitab Fiqhul Akbar menjadi bukti kepiawaian Abu Hanifah dalam ilmu kalam. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa ilmu ini tidak ada manfaatnya dan tidak berdampak terhadap generasi berikutnya. 

Dalam pandangan beliau, ilmu fikih adalah ilmu yang paling bermanfaat dan sangat berguna bagi masyarakat. Sejak itu, Abu Hanifah mulai memperdalam ilmu fikih dan belajar langsung kepada ulama yang ahli dalam bidang fikih di Irak.

Abu hanifah termasuk ulama yang terbuka. Dia mau belajar dengan siapapun. Sejarah menunjukkan bahwa beliau pernah belajar dengan tokoh Muktazilah dan Syi’ah. Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sekalipun pernah belajar dengan pembesar Syi’ah, ia tidak pernah mencaci maki dan menjelekkan sahabat Nabi. Sa’id bin ‘Arubah (w.156 H) mengatakan, “Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kuffah”.

Keterbukaan Abu Hanifah terhadap berbagai macam aliran ini, tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial keagamaan yang mengitari hidupnya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural dan beragam.

Di sana tumbuh berbagai macam aliran keagamaan dan keilmuan. Ada Syi’ah, Muktazilah, dan Khawarij. Karena sudah biasa hidup dengan kelompok yang berbeda, Abu Hanifah selalu berpesan kepada murid-murinya agar selalu menjaga adab dan tutur kata ketika berhadapan dengan masyarakat, terutama orang yang berilmu. Pesan ini selalu disampaikan agar masyarakat bisa dekat dan tidak resah dengan pendapat yang disampaikan. Beliau mengatakan, “ Kalau kalian berada di tengah masyarakat dan dihadapkan sebuah permasalahan, jawablah sesuai dengan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, baru kemukakan pendapat pribadimu beserta argumentasinya.” 

Mengetahui aliran dan mazhab yang berkembang dalam sebuah masyarakat sangatlah penting, supaya bijak dalam berpendapat. Jangan sampai memaksakan pendapat pribadi terhadap masyarakat yang juga memiliki pandangan keagamaan tersendiri. Misalnya, kalau berada di tengah masyarakat mayoritas madzhab Syafi’I, jangan paksakan pendapat madzhab Hanafi. Begitu pun sebaliknya.

Abu Hanifah termasuk salah satu ulama yang tidak mau menerima bantuan pemerintah. Seluruh biaya hidupnya ditanggung sendiri dan diperoleh dari hasil usaha dagangannya. Hal inilah yang membedakan beliau dengan Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, di mana biaya hidupnya ditanggung seluruhnya oleh baitul mal.

Dinasti Umayyah, Abasiyah dan Hukumannya

Abu Hanifah pernah hidup dalam dua kekuasaan dinasti terbesar, Umayyah dan Abasiyah. Beliau memiliki pengalaman hidup di bawah kekuasaan Umayyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abasiyah. 

Saat Bani Umayyah menguasai Irak, Imam Hanafi pernah ditawari jabatan hakim oleh Ibnu Hubayrah, penguasa Irak saat itu. Tapi, Abu Hanifah menolak, beliau tidak mau menjadi hakim pemerintahan Umayyah. Ibnu Hubayrah tetap memaksa Abu Hanifah dan mengancam jika tak dipenuhi keinginannya. Beliau tetap tegar dengan pendiriannya, sehingga dia dihukum cambuk dan dipenjarakan. 

Saking kuatnya pendirian Abu Hanifah, bekas cambukan itu tidak membuat hatinya luntur dan sedih. Malahan, tukang cambuknya letih sendiri dan merasa kasihan dengan kondisi beliau. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah dibebaskan. Setelah dinasti Umayyah digantikan dengan dinasti Abasiyah, sama halnya dengan dinasti sebelumnya penguasa  dinasti Abasiyah juga menawarkan hal yang serupa kepada Abu Hanifah. Khalifah Abu Ja’far langsung menemui dan memintanya menjadi hakim. Beliau tetap seperti semula. Dia menolak jabatan itu. Dan akhirnya dipenjarakan dan dihukum oleh Khalifah Abu Ja’far. Selama berada di dalam penjara, beliau diberikan 10 kali cambukan setiap harinya. 

Kondisi Abu Hanifah semakin lama makin menyedihkan. Beliau dibebaskan dari penjara dan dilarang mengajar dan berfatwa. Tidak lama setelah dikeluarkan dari penjara, beliau dipanggil Sang Pencipta. Abu Hanifah meninggal tahun 150 H, pada tahun itu pula pendiri mazhab Syafi’i, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, lahir. Ribuan orang mengantarkan sang imam ke tempat  peristirahatan terakhirnya. Konon ada sekitar 50 ribu orang yang ikut menyalati beliau, termasuk Khalifah Abu Ja’far. 

Redaktur: Jais Kholik
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Perjalanan Hidup Abu Hanifah

Abu_Hanifa_Name copy (1)

Tulisan Lainnya