Search
Close this search box.

Bermazhab di Indonesia

mazhab di indonesia

KAMPUS POJOK – Sebagai muslim Indonesia, kita tak asing mendengar kata “mazhab”. Karena mayoritas muslim Indonesia adalah pengikut mazhab, terlebih mazhab Imam al-Syafi’i. 

Meski begitu, nyatanya masih banyak orang yang mengikrarkan diri nya tak bermazhab. Mereka beranggapan hukum Islam bisa langsung merujuk pada Al-Qur`an dan hadis. Sampai dari mulut mereka sering terdengar propaganda, “Buat apa bermazhab? Saatnya kita kembali ke Qur’an dan hadis!”

Lalu, bagaimana pembelaan kita sebagai pengikut mazhab?

Kita lihat dahulu pengertian mazhab menurut ahli sunah waljamaah (Aswaja). Secara bahasa madzhab berarti tempat lewat. Sedangkan menurut istilah, menurut kitab Ghamzu ’Uyun al-Bashair fi Syarh al-Asybah wa  al-Nadhair, mazhab adalah sebuah metode yang dicetuskan oleh mujtahid dari hukum syariat yang bersifat furu’ ijtihadi dan berasal dari dalil dzanniyah (asumtif).

Mudahnya, mazhab adalah patokan atau Haluan yang disusun oleh ulama dalam pengambilan hukum. Tentunya hukum yang dikeluarkan tersebut tidak tiba-tiba dicetuskan, tetapi berasal dari sumber hukum syariat. Misal dalam mazhab fikih Syafi’i, pengambilan hukumnya berasal dari Al-Qur`an, hadis, ijmak dan kias. Dengan begitu, ikut salah satu mazhab bukan berarti kita tidak mengikuti Al-Qur`an dan hadis. 

Ulama Aswaja memberikan opsi mazhab dalam tiga bidang agama. Dalam bidang akidah kita bisa memilih untuk ikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Perihal fikih, ada empat pilihan, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam bidang tasawuf ada mazhab Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.

Ajakan Hadratu Syaikh untuk Bermazhab

Dalam kitab Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari yang berjudul Risalah Ahlu al-Sunah wa al-Jama’ah, beliau mengajak umat Islam untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih yang telah terpaparkan di atas. Bahkan, beliau mewajibkannya bagi orang yang tidak mampu untuk berijtihad sendiri. Mengingat syarat untuk bisa berijtihad sendiri sangat lah berat. Hal ini selaras dengan firman Allah surah al-Nahl ayat 43, 

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ…

“… maka bertanyalah pada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Beliau pun mencontohkan mayoritas ulama besar, yang tingkat keilmuannya sundul langit, pun masih ikut salah satu mazhab. Di antaranya adalah Imam Bukhari pengarang kitab kumpulan hadis Shahih Bukhari bermadzhab Syafi’i; Imam al-Jariri bermazhab Hanafi; Syekh Abdul Qadir al-Jailani bermazhab Hanbali; dan Syekh al-Syadzili bermazhab Maliki.

Bahkan, dalam masa Nabi Muhammad masih hidup pun para sahabat tak langsung mengambil hukum langsung dari Al-Qur`an. Beliau-beliau masih bertanya kepada Nabi Muhammad mengenai masalah yang menimpa mereka. 

Hadratu Syaikh menambahkan keterangan dalam kitabnya yang artinya, “Orang awam tidak harus selalu mengikuti mazhab tertentu pada tiap kondisi yang dia jalani. Seperti orang yang mengikuti mazhab Syafi’i, tidak harus mengikuti terus-menerus mazhab tersebut, tetapi boleh berpindah ke mazhab yang lain.

Bermazhab Sesuai Mayoritas Masyarakat

Setelah kita tahu bahwa secara hukum fikih boleh bermazhab dengan mazhab mana pun, tentu yang terlintas dalam benak selanjutnya adalah mazhab mana yang seharusnya diikuti? Sebenarnya tak ada ketentuan paten dalam menentukannya. Namun, mengikuti mazhab mayoritas daerah kita berpijak adalah sikap yang bijak. 

Pertimbangan paling pentingnya adalah mencegah adanya perseteruan dan menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat. Bagi orang awam perbedaan pendapat bisa menyebabkan terjadinya perpecahan dan perseteruan. Dengan berlaku demikian, tentu adalah sebuah perilaku yang bijak.

Dalam hal ini kita dapat belajar dari kisah Qadli Abu Ya’la dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh. Al-Wazir Ibnu Hubairah menceritakan, Syekh Abu Ya’la yang merupakan pengikut mazhab Hanbali didatangi seorang tamu yang ingin belajar mazhab Hanbali pada beliau. Maka, beliau bertanya di mana tempat tinggal tamu tersebut.

Setelah dijawab, beliau berkata, “Sesungguhnya penduduk negerimu semuanya bermazhab Syafi’i, lalu mengapa engkau berpaling pada mazhab Hanbali?”

Tamu itu menjawab, “Sesungguhnya aku berpaling ke mazhab mu karena aku mengagumimu.”

Syekh Abu Ya’la tidak membenarkan hal demikian. Menurut beliau, hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan umat. Karena bila tamu tersebut mengajarkan mazhab Hanbali di daerah mayoritas mazhab Syafi’i, masyarakat akan menilai tata cara ibadah mereka berbeda dengan yang diajarkan. Dari situ lah perpecahan dapat timbul gara-gara perbedaan pendapat. Kemudian beliau membawa tamu ini menemui Abu Ishaq al-Syairazi yang bermazhab Syafi’i.

Maka, kita sebagai penduduk Indonesia, selayaknya selektif dalam memilih mazhab. Dari keterangan di atas saja mengikuti mazhab selain yang mayoritas saja rentan menimbulkan perpecahan. Apalagi ikut mazhab orang yang tidak menyerukan dirinya sebagai pencetus mazhab. Bapak proklamator, semisal.

Redaktur: Muhammad Miqdadul Anam
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Bermazhab di Indonesia

mazhab di indonesia

Tulisan Lainnya