Mencari ilmu itu hukumnya wajib. Begitulah pesan singkat Nabi kepada kita. Beliau paham, salah satu kunci kesuksesan umat muslim adalah dengan meningkatnya kualitas ilmu pengetahuan. Jadi, Beliau sangat menganjurkan, untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, meski untuk mencapai hal tersebut, harus jauh-jauh ke negeri Cina.
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Carilah ilmu meski harus ke negeri Cina.” (HR. Imam Baihaqi)
Hadis di atas, dipahami oleh al-Habib Abdullah Alawi al-Hadad di dalam kitab Nashaih ad-Diniyah wal al-Washaya al-Imaniyah, sebagai suatu daerah yang sangat jauh, dimana hanya orang tertentu yang bisa sampai ke daerah tersebut.
والصين: إقليم بعيد من أبعد المواضع وقليل من الناس الذي يصل إليه لبعده
”Istilah Cina bisa kita pahami sebagai daerah yang sangat jauh. Hanya sedikit manusia yang bisa sampai ke situ.”
Dari pernyataan di atas, kita bisa menegaskan bahwa mencari ilmu itu penting. Terlebih, ilmu yang berhubungan dengan agama Islam, atau ilmu yang bisa memberikan kemanfaatan merata, kepada khalayak umum, tidak terbatas individu tertentu.
Namun, ada sekian faktor kesuksesan belajar yang perlu kita perhatikan. Bagaimana etika kita kepada guru, buku, bahkan kehidupan sehari-hari, sangat berpengaruh terhadap kesuksesan di dalam mengkaji ilmu.
Faktor-faktor
Kita bisa melihat, misalnya, salah satu faktor yang harus diperhatikan. Buku yang berjudul Ta’lim Muta’alim Thariqul Taa’lum, karangan sarjana Islam, Imam Burhanuddin Islam al-Zarnuji menjelaskan sebagaimana di bawah ini,
ثم لا بد له (المتعلم) من النية في تعلم العلم إذ النية هي الأصل في جميع الأفعال وينبغي أن ينوي المتعلم بطلب العلم رضاء الله والدار الأخرة وإزالة الجهل عن نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين وإبقاء الإسلام
“Wajib bagi pegiat ilmu untuk niat ketika belajar, karena niat adalah pokok dari setiap pekerjaan. Sebaiknya, niatnya adalah mencari ridha Allah, menghilangkan kebodohan (ia sendiri atau orang lain), dan menghidupkan agama Islam.”
Pada pernyataan di atas, Beliau hendak menegaskan bahwa pentingnya kita menata niat dan tujuan sejak dini. Jangan sampai salah berniat, ketika sedang fokus-fokusnya mengkaji suatu ilmu. Terlebih, bagi kita yang tidak ada niatan sama sekali ketika belajar. Poinnya, niat itu sangat berpengaruh.
Kalau kita perhatikan sejenak, pernyataan Imam Burhanuddin di atas berkaitan erat dengan pesan sederhana Nabi. Pesan tersebut sebagaimana di bawah ini (Pesan Nabi ini penulis kaji bersama teman-teman, dibimbing oleh pengasuh utama Pondok Pesantren An-Nur Al-Murtadlo, Kiai Fathul Bari),
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُجَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ (رواه ابن ماجه)
“Barang siapa menimba ilmu, supaya dia bisa membanggakan diri di tengah-tengah ulama, dia bisa berdebat dengan golongan pandir, dia juga bisa menarik perhatian khalayak, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam.” (HR. Imam Ibnu Majjah).
Oleh karena itu, penting kiranya menelaah pesan Nabi di atas. Benahi niat dan tujuan kita dalam belajar. Selalu memperbarui niat, ketika mulai terasa langkah kita mencari ilmu mulai melenceng dari arah yang sepatutnya.
Mungkin dirasa sulit untuk mengamalkan pesan Nabi di atas. Terlebih, hal-hal yang berhubungan dengan hati, semisal rasa sombong, bangga diri, pamer dan lain sebagainya. Namun, kiranya niat dan usaha benar-benar kita munculkan, maka lama kelamaan kita mudah untuk menjalaninya.
Kesimpulan
Ada satu analogi yang ditawarkan oleh sebagian ulama, perihal ketidakpantasan sifat sombong, membanggakan diri, pamer melekat pada diri kita, sebagai seorang pelajar khususnya. Analogi tersebut bisa kita lihat di dalam kitab Ihya Ulumiddin, karangan Sang Argumentator Islam, Imam al-Ghazali sebagaimana di bawah ini,
العلم حرب للفتى المتعالي كالسيل حرب للمكان العالي
“Ilmu itu musuh bagi pegiat ilmu yang memiliki sifat sombong. Hubungan ini laksana banjir yang menjadi musuh bagi tempat yang tinggi.”
Dalam arti, antara cahaya ilmu dan kesombongan, adalah dua hal yang saling bertentangan. Keduanya jelas berbeda. Ketika sifat sombong sudah melekat pada hati kita, sudah barang tentu cahaya ilmu tidak akan masuk ke hati kita.
Imam al-Ghazali memberi satu contoh bentuk kesombongan yang biasanya kita miliki. Bentuk kesombongan tersebut adalah ketika kita hanya ingin mengambil hikmah dan ilmu, kepada seseorang yang terkenal, banyak pujian dari khalayak umum, masuk televisi, banyak pengikutnya dan beberapa kriteria lainnya.
ومن تكبره على المعلم أن يستنكف عن الاستفادة إلا من المرموقين المشهورين وهو عين الحماقة
“Salah satu bentuk kesombongan pegiat ilmu adalah dengan mencegah diri dari mengambil ilmu pengetahuan, kecuali dari orang-orang yang terkenal. Ini adalah bentuk kebodohan yang nyata.”
Semoga wawasan sederhana di atas bisa menjadi tambahan ilmu bagi kita semua. Terlebih, kita bisa mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sekian!
Redaktur: Moch. Vicky S. H.
Penyunting: M. Ihsan Khoironi
No Comment! Be the first one.