KAMPUS POJOK – Memilih pemimpin adalah hal yang terkadang membuat kita bingung. Harus milih siapa dan kenapa. Kebingungan itulah yang menjadi salah satu faktor untuk golput.
Tapi tak perlu khawatir, Syariat sebenarnya sudah memberikan solusi atas kebingungan tersebut. Apa itu? Dalam memilih pemimpin hendaknya melakukan step-step berikut:
- Mengetahui visi, misi dan trek recordnya
Step ini berdasarkan kaidah fiqih yang berbunyi:
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
“segala sesuatu yang tergantung tujuannya”
Memang apa hubunya? Begini penjelasannya:
Dari kaidah tersebut dapat dipahami tujuan menjadi tolak ukur suatu tindakan, dalam artian tanpa mengetahui tujuan tindakan kita tidak akan dianggap. Sebagai contoh musafir yang tidak jelas tujuannya, maka tidak akan mendapat rukhsah menjamak shalat. [Imam Suyuti, Asybah Wan Nadhoir, (Samela: Beirut: Darul kutub Ilmiyah: 1983) hal. 8]
Begitu pula dalam memilih pemimpin. Sebelum memilih kita harus tahu tujuan mereka meliputi visi, misi dan trek recordnya. Tanpa mengetahui hal itu kita sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai memilih. Kok bisa? Dalam nadhom zubat dikatakan:
وكل من بغير يعمل ** أعماله مردودة لا تقبل
“Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amal-amlanya ditolak, tidak diterima.”
- Menentukan mana yang relevan untuk membawa perubahan dan kemajuan
Langkah selanjutnya adalah menentukan mana yang lebih relevan untuk membawa perubahan dan kemajuan. Hal ini sejalan dengan adanya syariat yang mengusung adanya kemaslahatan dan meninggalkan kemudharatan. Allah berfirman:
وَلاَ تُفْسِدُوا فِي الأْ َرْضِ بَعْدَ إِصْلاَ حها
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”(QS. Al- `Araf: 56)
Maka dengan memilih argumen yang lebih relevan untuk membawa perubahan dan kemajuan berarti kita telah menghindari kerusakan dan mencoba memunculkan kemaslahatan. Setelah menemukannya kita akan memiliki tujuan untuk memilih, sehingga tidak akan golput lagi.
Sama halnya dengan permasalahan shalat. Setelah kita memenuhi syarat sah berupa mengetahu rukun-rukunnya, maka kita tinggal memilih shalat apa yang akan dikerjakan. Shubuh kah, atau maghrib. Ingat kata kuncinya “Al-Umuru Bimaqosidiha” segala sesuatu tergantung tujuannya.
Namun untuk menentukan mana yang lebih relevan agaknya sangat sulit. Apalagi dalam kontek pemilihan presiden sedangkan kita fomo politik. Untuk masalah yang satu ini solusinya adalah musyawarah. Musyawarah dengan siapa? Ya dengan ahlinya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
[Imam ‘Izuddin bin Abdi Salam, Ahkamu Jihad Wa Fadhailihi, (Malang: Maktabah An-Nur II: 2023) hal. 23]
- Menyumbangkan suara untuk pilihan dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan
Setelah melakukan step pertama dan kedua, maka step yang terakhir adalah menyumbangkan suara untuk memilih dan memasrahkan semuanya terhadap Tuhan. Kita serahkan hasilnya pada Tuhan, lantaran Ialah yang mengetahui yang terbaik bagi semuaanya. Sebagaimana firmannya:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَࣖ
Artinya: “Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Lalu bagaimana jika ternyata yang kita pilih ternyata tidak sesuai harapan? Sudah banyakkan contohnya. Apakah kita berdosa karena memilih orang yang salah? Untuk menyikapi hal ini Syaikh ‘Izzudin bin Abdi Salam mengatakan:
مَنْ أَتَى مَا هُوَ مَصْلَحَةٌ فِي ظَنِّهِ وَهُوَ مَفْسَدَةٌ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ كَمَنْ أَكَلَ مَالًا يَعْتَقِدُهُ لِنَفْسِهِ، أَوْ وَطِئَ جَارِيَتَهُ يَظُنُّ أَنَّهَا فِي مِلْكِهِ، أَوْ لَبِسَ ثَوْبًا يَعْتَقِدُهُ لِنَفْسِهِ، أَوْ سَكَنَ دَارًا يَعْتَقِدُهَا فِي مِلْكِهِ، أَوْ اسْتَخْدَمَ عَبْدًا يَعْتَقِدُهُ لِنَفْسِهِ، ثُمَّ بَانَ أَنَّ وَكِيلَهُ أَخْرَجَ ذَلِكَ عَنْ مِلْكِهِ فَلَا إثْمَ عَلَيْهِ لِظَنِّهِ
Artinya: “Barang siapa mengambil tindakan yang menurutnya mengandung maslahat namun sebenarnya malah mengandung kerusakan seperti orang yang memakan harta yang ia yakini sebagai miliknya atau mewathi’ budak yang ia yakini dalam kekuasaan nya atau memakai baju yang ia yakini sebagai miliknya atau menempati rumah yang ia yakini miliknya atau meminta pelayanan dari budak yang ia yakini dalam kekuasaan nya namun ternyata wakilnya mengecualikan semua tadi dari kepemilikan atau kekuasaan maka tidak akan mendapat dosa (atas perbuatan tadi) lantaran keyakinannya.”
[Imam ‘Izuddin bin Abdi Salam, Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, (Samela: Kairo: Maktabah Kuliyyah Al-Azhar: 1991) juz. 27 hal. 1]
Demikian merupakan solusi yang diberikan syariat dalam menghadapi kebingungan memilih pemimpin. Bagi yang belum terlambat, silahkan dilakukan dan bagi yang sudah terlanjur memilih pemimpin asal-asalan atau malah golput ini bisa menjadi pelajaran untuk kedepannya.
Wallahua’lam
Redaktur: A. Bisri Fanani
Penyunting: M. Ihsan Khoironi
No Comment! Be the first one.