Search
Close this search box.

Njelimet

مَتٰى اَوحَشكَ من خَلقِهِ فاَعْلم اَنَّهُ يُرِيدُ ان يَفتحَ لك باَبَ الاُنْسِ بِهِ

Kalau Tuhanmu berani menciptakan sepotong sumpek di hidupmu. Percayalah, bahwa Ia telah menyiapkan rumah ketenangan untuk pulangmu (Hikmah; 112)

Sumpek?! Tidak hanya anda. Dari sekian ratus juta manusia yang terdata, belum ada satupun yang terlepas dari sumpek, juga belum satupun manusia yang seutuhnya bahagia. Sumpek adalah sebentuk rahmat tuhan. Kasih sayang. Bahagia di dunia tak ada artinya jika belum dihempas kesumpekan. Kalau diurutkan, siklusnya itu susah-payah-susah-payah-susah-bahagia. Mengapa bahagia cuma sekali? Ya. Kalau berkali-kali itu namanya hidup di lembar skenario sutradara. 

Kita adalah antologi dari sumpek yang bhineka nggak tunggal ika. Jangan salahkan sumpek, kadang kita sendiri yang menjemput kesumpekan itu secara tak sadar. Wartawan, sumpek mengolah berita rela kesana kemari mboyong pulpen dan notebook hanya untuk mengejar narasumber (yang diwawancarai ikutan lari)-dapat berita-harus disetorkan lalu dipublikasikan di sosial media. Polantas, pagi buta sudah harus bangun-belum sarapan-belum ngopi bergegas menyiapkan kunkun lalu menertibkan lalu lintas hanya untuk menyelamatkan nyawa orang lain, sedangkan nyawanya sendiri tak dipedulikan. Kuli, hari-harinya ia nobatkan untuk menguras keringat hanya demi merampungkan harapan orang lain, sementara harapannya sendiri sering ditunda. Penjaja, siang malamnya ia habiskan di ruas jalanan-masuk ke kios-tak jarang ia menjajakan produknya di terminal-terminal, di lampu-lampu merah-dan tak laku-laku. Ojek, umurnya ia habiskan hanya untuk nge-time di atas sepeda-nongkrong di warteg terjangkau-menunggu notifikasi orderan-sudah dapat-diantar sesuai alamat-dapat uang-nongkrong lagi. 

Siapa suruh jadi wartawan, polisi, kuli, penjaja, ojek? Mari membedakan takdir dengan pilihan hidup. Sumpek acap kali disinonimkan dengan kegagalan hidup (takdir buruk). Padahal ‘sumpek’ tak mau dikambinghitamkan atas nama kegagalan. Sumpek itu bukan sebuah kesalahan. Sumpek tak akan lama mengerubungi hidupmu yang pendek. Sumpek hanya diciptakan tuhan untuk mengantarkanmu menikmati serunya tertawa terbahak-bahak. 

Pun bahagia, bagi saya, mengartikan bahagia sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan ‘apa kunci kesuksesan’. Bahagia bagi saya kompleks yang sederhana hanya teorinya. Kata orang, bahagia itu “mobil baru, rumah baru, baju baru, ini, itu dan lain sebagainya”. Apalagi zaman sekarang kita sering diserang kata-kata toxic yang semakin memperkeruh pikiran “healing, staycation, resesi dan lain sebagainya”. Jangan berharap bahagia, mendapatkan ketenangan di zaman sekarang adalah aset yang tak bisa dibeli. Kejarlah ketenangan bukan kebahagiaan. 

Ketika di riset, 90% rata-rata orang mengatakan pangkal dari tujuan hidup adalah ketenangan. Menurut saya ini hampir benar. Kita buktikan dengan lima proses menggapai ketenangan ala warga Jerman. 

In der Ruhe liegt die Kraft. Jika diterjemahkan bebas, dalam ketenangan ada kekuatan. Kalimat ini menjadi pengingat bagi mereka yang dikejar-kejar waktu, agar memperlambat dan meluangkan waktu sejenak untuk mengumpulkan kekuatan.  

Eile mit Weile. Eile berarti tergesa-gesa, sedangkan Weile artinya lambat-laun. Frasa ‘Eile mit Weile’ adalah permainan kata, yang mengisyaratkan agar dalam keadaan terdesak pun, kita harus mengambil waktu untuk berpikir dan menimbang dengan baik, jika kaitanya dengan mengambil keputusan krusial dan penting.

Ruhe vor dem Sturm. Artinya: ketenangan sebelum badai. Ini adalah saat-saat yang tenang dan hening, sebelum kegiatan yang intens dimulai. Ini juga bisa berarti, jika segala sesuatu kelihatan tenang, boleh jadi akan segera terjadi sesuatu yang menggegerkan. Karena jangan-jangan, keheningan itu adalah “Ruhe vor dem Sturm.”. 

Immer mit der Ruhe. Artinya: selalu dengan ketenangan. Maksudnya, menghadapi tugas atau masalah, tidak perlu panik atau gugup. Cobalah tenang untuk bisa berpikir jernih. Carilah ketenangan, ambil waktu untuk refleksi, berusaha menghadapi kenyataan dengan lebih santai.

Wer rastet, der rostet. Kira–kira artinya: siapa (cepat) istirahat, dia akan berkarat. Setelah ungkapan tentang ketenangan, santai, dan ambil waktu untuk mengumpulkan kekuatan, yang satu ini adalah ungkapan sebaliknya. Sederhananya, jangan cepat menyerah. Kalau mengerjakan sesuatu, jangan setengah jalan, lalu berhenti. Ajok separoh-separoh. Jangan hanya berdiam diri, terus bergerak dan berkegiatan untuk menghindar dari karatan. Sama dengan otak, jika hanya didiamkan otak akan segera aus dan berkarat. Teruslah berpikir dan mengolah ketenangan. 

Marcanang. Mari Mencari Ketenangan. Mohon maaf jika tulisan ini njelimet. Berhubung yang dibahas soal kehidupan. Serba relatif dan multitafsir. Selamat membaca!

Redaktur: Mohammad Iqbal Imami
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Njelimet

Tulisan Lainnya