Search
Close this search box.

Selamat Umur Satu Abad Buyut NU

“Selamat nggeh Yut, jenengan sudah umur satu abad.”

Sekelompok cucu Buyut NU bernama Mustasyar, Syuriah dan Tanfidziyah serentak mengucapkan selamat ulang tahun pada Buyut NU. Mereka mewakili para cucu-cucu Buyut NU yang tersebar di berbagai daerah: Besar, Wilayah, Cabang Istimewa, Cabang, Wakil Cabang, Ranting dan Anak Ranting.

“Terima kasih cucu-cucuku,” balasnya.

“Oh, Seharusnya kami yang berterima kasih, Yut,” ucap Mbah Mustasyar setelah menyeruput kopi di depannya yang mulai hangat.

“Benar, Buyut. Jenengan dulu sudah berperan besar dalam menolak ideologi wahabi masuk ke Indonesia tercinta ini,” tambah Pak De Syuriah.

Kang Tanfidziyah yang dalam perkumpulan itu paling muda tak ingin kalah untuk ikut bersuara, “Saya pernah dengar Buyut NU juga membentuk yang namanya komite Hijaz untuk dikirim ke Saudi sana. Hasilnya Wahabi yang mulanya ingin menghancurkan makam Nabi Muhammad tak jadi dilakukan. Dan saat ini kita masih bisa ziarah ke makam mulia beliau.”

“Wah, cucuku tahu banyak ya meskipun saat itu belum lahir,” kata beliau sambil terkekeh serak memperlihatkan gigi palsunya.

Ramainya Cucu NU

“Hehe, iya. Kan golongan muda kayak saya harus menghargai jasa sesepuh.” Muka Kang Tanfidziyah memerah.

Pak De Syuriyah berceletuk, “Ya, meskipun boleh ke makam Nabi, tapi di sana tidak bisa tahlilan seperti di sini.” Semua orang di ruangan itu ikut tertawa. 

“Itu juga,” Mbah Mustasyar mulai bersuara lagi, “Resolusi Jihad yang menyulut semangat untuk berperang mengusir penjajah di Surabaya tak lepas dari peran Buyut NU, kan?”

Para Buyut tersenyum. Di hatinya ia merasa senang dengan kelakuan anak turunnya yang akur, rukun dan ramai seperti orang-orang NU biasanya. Seperti yang kita ketahui, wahai NU kultural, kalau tidak ramai bukan NU namanya. Ehehe. 

“Lho Mbah Mustasyar jangan lupa, itu merupakan tindak lanjut keputusan Muktamar tahun 1936 di Banjarmasin yang menetapkan Indonesia sebagai Wilayah Al-Islam yang harus dijaga dari penjajahan,” ungkap Pak De Syuriyah.

Mbah Mustasyar yang merasa diserang lantas membalas, “Wah, tua-tua ini saya belum pikun ya. Saya ingat betul di Muktamar tahun 1984 di Situbondo Buyut NU menetapkan Pancasila sebagai Asas tunggal. Ini bukti nyata kalau Buyut kita adalah nasionalis sejati.”

“Sudah-sudah Mbah, Pak De. Wong ya, di zaman kami yang muda-muda ini Resolusi Jihad baru diperingati sebagai bentuk jasa Buyut NU. Tahun 2014 Pak Presiden akhirnya memutuskan adanya Hari Santri Nasional di tanggal penetapan Resolusi Jihad itu, 22 Oktober,” ujar Kang Tanfidziyah sedikit berbangga karena itu bentuk kerja keras cucu-cucu muda Buyut NU.

“Hm…” Mbah Mustasyar cuma mantuk-mantuk sambil merem.

Pak De Syuriah berkomentar lagi, “Ya, ya, ya. Terima kasih anak muda yang sudah mensukseskan peringatan Resolusi Jihad. Tapi, meskipun begitu berjasa, Buyut NU pernah di-satru pemerintah dulu di zaman presiden kedua. Tapi ya namanya nasionalis sejati, Buyut NU masih tetap gigih memperjuangkan keutuhan NKRI.”

“Lho, ya jelas toh. Presiden keempat kan dari keluarga Buyut NU. Itu menandakan semangat nasionalisme Buyut Nu belum padam,” kata Kang Tanfidziyah. Memang, Kang Tanfidziyah masih muda. Semangatnya berkobar-kobar kalau membicarakan Buyut NU.

Suasana pun hening. 

Melihat pembicaraan mandek, Mbah Mustasyar bersuara, “Lho kok diam-diam. Pripun yut?”

Petuah

Akhirnya, Buyut NU mengeluarkan petuahnya, “Sudah, jangan terlalu membanggakan buyut. Cucu buyut sudah banyak, kalau dihitung dari struktural yang masuk KK dan kultural yang ngaku-ngaku cucuku hampir separuh Indonesia. Harusnya keturunanku bisa lebih hebat dari saat ini. Kita masih punya banyak PR.”

Mbah Mustasyar, Pak De Syuriah dan Kang Tanfidziyah khidmat mendengarkan, mantuk-mantuk tapi bukan ngantuk.

Buyut NU meneruskan, “Jumlah lembaga pendidikan, kesehatan dan perindustrian naungan buyut kalah jauh dari kakak tua buyut yang sholat Subuhnya tidak pakai Qunut itu. Dari hal digital pun keluarga kita masih kalah jauh dari keluarga imigran yang celana cingkrang-cingkrang itu. Mereka paham betul kalau dunia digital saat ini sangat berpengaruh dalam masalah dakwah. Kita jangan sampai kalah!

Tentu, ini tugas kita bersama. Mbah Mustasyar, Jangan sampai pikun memantau cucu-cucumu agar tetap di khittah kita. Pak De Syuriah, jangan bosan-bosan membimbing anak-anak yang suka ramai itu supaya tetap ramai tapi tidak ngawur. Hehe. Kang Tanfidziyah yang paling muda juga terus gencar berinovasi terutama di dunia digital.

Semoga keluarga kita tetap hadir sebagai pejuang keutuhan NKRI dan Pancasila.”

Semuanya terenyuh sambil berkata amin, hingga Mbah Mustasyar angkat bicara duluan, “Kami akan terus berjuang hingga akhir hayat nanti, buyut.”

“Iya, kami akan jadi garda terdepan penguat NKRI dan Pancasila,” tambah Pak De Syuriah.

“Tentu, semua harapan buyut akan kami goal-kan sepenuh hati.” Terakhir Kang Tanfidziyah berujar.

Buyut NU tersenyum lebar, lantas menangis haru.

***

Tiga kiai NU jabatan Mustasyar, Syuriah dan Tanfidziyah yang kebetulan tidur satu ruangan terjaga bersamaan. Kemudian mereka saling bercerita mimpinya yang juga kebetulan sama. Aneh-aneh aja orang NU.

Redaktur: Miqdadul Anam
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Selamat Umur Satu Abad Buyut NU

Tulisan Lainnya