Search
Close this search box.

Tradisi Buwuh dari Sudut pandang fikih

KAMPUS POJOK – Lumrah diketahui bahwasannya provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang kaya akan tradisi. Terlebih di daerah pedesaan. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga sekarang dan sangat kental adalah tradisi buwuh.

Prakteknya, tuan rumah yang mengadakan acara walimah atau hajatan meminta bantuan masyarakat setempat, bisa berupa uang, beras, gula, minyak, dan jajanan lainnya yang menjadi kebutuhan saat acara walimah.

Di sisi lain, tuan rumah menyediakan catatan, guna mencatat kadar bantuan yang dia terima. Di mana, ketika sebagian masyarakat mengadakan acara walimah, maka tuan rumah mengembalikan bantuan yang diserahkan kepadanya dengan kadar yang setara.

Salah satu tradisi yang prakteknya serupa dengan buwuh adalah tradisi nyadran. Yang membedakan antara keduanya hanyalah waktu penyerahan bantuan. Dalam tradisi buwuh, waktu penyerahan adalah saat acara walimah berlangsung, sedang tradisi nyadran adalah sebelum acara walimah.

Meskipun memiliki perbedaan, namun esensi dari keduanya sama. Perbedaan di atas hanyalah faktor perbedaan daerah. Tradisi buwuh bisa kita jumpai di daerah Malang dan sekitarnya, sedangkan nyadran bisa kita jumpai di daerah Probolinggo dan sekitarnya. Pastinya, di daerah lainnya juga memiliki istilah sendiri untuk tradisi semacam ini.

Istilah Tradisi Buwuh dalam Kitab Fikih Klasik

Dalam kitab-kitab Fikih klasik, tradisi semacam di atas diistilahkan dengan “daf’un nukuut al-mu’taad fil afraah”, yakni tradisi menyerahkan uang saat acara.

Tradisi semacam ini secara garis besar terbagi menjadi dua macam; menyerahkan uang tersebut kepada tuan rumah langsung atau orang yang menjadi wakilnya, kedua, menyerahkan uang tersebut kepada orang-orang yang meramaikan acara tersebut, seperti penyanyi, tanpa adanya izin dari tuan rumah.

Namun yang menjadi pembahasan kali ini adalah yang pertama, karena memiliki esensi yang sama dengan tradisi buwuh.

Status Tradisi Buwuh

Dalam kitab Fikih klasik, status tradisi semacam ini masih diperdebatkan. Sebagian ulama mengkategorikannya ke dalam akad hibbah (transaksi pemberian), sedangkan yang lain mengkategorikannya ke dalam akad qardh (transaksi hutang).

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya, Tuhfatul muhtaj menjelaskan, tradisi seperti di atas merupakan transaksi pemberian, tidak bisa dikategorikan sebagai transaksi hutang. Alasan Beliau, masih rancunya praktek tradisi tersebut yang terjadi di masyarakat. Dalam arti, praktek yang terjadi di masyarakat berbeda-beda.

Sebagian masyarakat menganggap, bantuan tersebut tidak harus dikembalikan, sehingga statusnya sebagai barang pemberian. Sedangkan sebagian masyarakat lain menganggap, bantuan tersebut harus dikembalikan dengan kadar yang sama, sehingga statusnya sebagai barang hutangan. Ketika praktek yang terjadi di masyarakat berbeda-beda semacam ini maka status tradisi tersebut merupakan transaksi pemberian.

Kemudian Imam as-Syarwani dalam kitabnya, As-Syarwani menjelaskan, dari alasan tersebut dapat diambil pemahaman, ketika praktek sudah berlaku di masyarakat dan merata, dalam arti tidak ada perbedaan praktek, yakni semua masyarakat sepakat bahwa bantuan tersebut wajib dikembalikan di kemudian hari dengan kadar yang setara, maka tradisi tersebut bukan lagi merupakan transaksi pemberian, namun merupakan transaksi hutang.

Adapun praktek yang terjadi dalam transaksi hutang itu sama dengan praktek yang terjadi dalam tradisi buwuh, yakni menyerahkan kepemilikan atas suatu barang yang kemudian dikembalikan dengan kadar yang serupa.

Dikarenakan dalam tradisi buwuh tidak ada bahasa transaksi, dimana keduanya harus ada dalam transaksi hutang, maka menggunakan konsep bahwasannya tradisi yang sudah berlaku dan merata bisa menggantikan kedudukan bahasa transaksi. Dalam hal ini, disebut dengan Qordul Mu’atoh (transaksi hutang dengan metode tanpa bahasa transaksi).

Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya status tradisi buwuh itu menyesuaikan praktek yang terjadi di masyarakat. Ketika prakteknya masih rancu dan berbeda-beda, maka termasuk transaksi pemberian. Sedang ketika prakteknya sudah berlaku dan menyeluruh, tidak ada perbedaan maka termasuk transaksi hutang.

Redaktur: Dicky Feryansyah
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Tradisi Buwuh dari Sudut pandang fikih

Tulisan Lainnya