Search
Close this search box.

Overthinking Debu Tayamum

(Serial Ngaji Fikih Bareng Cak Nan dan Kang Hamim #1)

Sah atau tidak?

            Di tengah panasnya udara siang hari, Cak Nan dengan santainya makan gorengan dengan ditemani kopi panas yang baru dibuatnya. Semua terasa begitu lega menurut Cak Nan setelah mengikuti kuliah Ma’had Aly pagi hari itu. Namun, ada satu hal yang membuat kelegaannya itu sedikit tersumbat. Di pojok asrama, ia melihat Kang Hamim sedang termenung seperti memikirkan sesuatu.

            “Halo, Kang!” sapa Cak Nan sambil membawa gorengan dan kopi di kedua tangannya.

            “Hm?” Jawab Kang Hamim dengan raut cuek.

            “Kenapa kamu kok diam aja, sepertinya kamu sedang ada masalah?” Cak Nan berucap setelah menyeruput kopi.

            “Iya, nih. Aku bingung banget, overthinking,” kata Kang Hamim tanpa sedikit pun melihat ke arah Cak Nan.

            “Jangan pake bahasa aneh-aneh, gak paham aku overthingking itu apa. Kau lagi telat sambang kah atau sandalmu digasab?”

            “Enggak begitu, masalah sambang mah bukan masalah, toh ada ini,” ucap Kang Hamim sambil menunjukkan kartu ATM miliknya. Cak Nan membatin, bisa-bisanya ini anak membawa ATM setiap saat.

Kang Hamim rupanya terbuka hati untuk curhat dengan menoleh ke Cak Nan, lalu melanjutkan, “Mungkin yang masalah gasab tadi masuk juga.”

            “Jadi, sandalmu digasab lagi?”

            “Enggak, ini aku lagi memikirkan kok bisa-bisanya orang bertayamum dengan debu gasab tayamumnya sah.”

            “Sebentar, gasab gimana ini?”

            “Ya, mudahnya Bang Kautsar capek-capek ngumpulin debu kemudian debu itu aku pakai tayamum tanpa minta izin.”

            “Hm… terus?” Cak Nan rupanya mulai tertarik dengan overthinking Kang Hamim.

            “Kan barusan kita belajar tayamum di kitab Minhajut Thalibin, di situ diterangkan tayamum bisa sah walau menggunakan debu hasil gasab. Kan aneh.”

            “Aneh gimana, toh? Coba jelaskan dulu keanehannya.”

            “Kita pernah belajar di mata kuliah Qawaid Fiqh, kalau ada kaidah fikih berbunyi Al-Rukhashu la Tunathu bil Ma’ashi, sebuah rukhsah[1] tak boleh dikaitkan dengan perbuatan maksiat. Jadi, kalau ada maksiat tak boleh melakukan rukhsah. Betul?” Ucap Kang Hamim memastikan Cak Nan menyimak keterangannya.

            “Iya, memang begitu,” jawab Cak Nan dengan yakin.

            “Lalu, tayamum kan bentuk rukhsah, menurut Imam Nawawi pengarang kitab fikih yang kita pelajari itu. Lha, bagaimana bisa tayamum yang merupakan rukhsah menggunakan debu gasab bisa sah. Padahal gasab itu perbuatan maksiat. Sehingga, kayak-kayak tayamum dikaitkan dengan perbuatan maksiat berupa gasab? Menyalahi kaidah fikih tadi, kan?”

            “Kan masih kayak. Ini nih kalau baca kitab tidak lengkap,” kata Cak Nan sambil tersenyum sinis.

            “Nggak lengkap bagaimana?”

            “Kaidah Al-Rukhashu la Tunathu bil Ma’ashi kan sudah gamblang dari keterangan Imam Suyuthi di kitabnya Al-Asybah wa Al-Nadhair. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami pun juga menjelaskannya di awal bab tayamum dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj.”

            “Iya, kah?” tanya Kang Hamim heran.

            “Iya, kamu aja belum baca. Makanya, kalau kuliah jangan mikirin duit mulu, fokusngaji kek sekali-kali.”

            “Jelasin lah, ndak perlu lah nyinyirin aku terus,” timpal Kang Hamim menggerutu.

            “Hehe bercanda, toh kenyataannya memang seperti itu.” Cak Nan tersenyum lebar, Kang Hamim bersungut kecut. “Ya, sudah. Ini gorengannya dimakan dulu, kopinya diseruput, biar ndak salah paham.”

            Kang Hamim meraih kopi Cak Nan lengkap dengan gorengannya. Sepertinya ia ingin balas dendam dengan menghabiskan kopi serta gorengan Cak Nan. Gorengan tinggal satu, kopi tinggal ampas, Kang Hamim berkata, “Sudah, tidak ada salah paham di antara kita, mari jelaskan itu kenapa tayamum menggunakan debu gasab masih bisa sah.”

            “Ya nggak usah dihabiskan juga gorengan dan kopiku kang!” jawab Cak Nan tenang. “Jadi gini, Ibnu Hajar dalam kitabnya itu mengatakan, benar tayamum merupakan sebuah rukhsah dan tak boleh dikaitkan dengan maksiat. Tapi, yang perlu dipahami di sini adalah di mana letak maksiat tersebut.”

            Kang Hamim menyimak.

            “Imam Suyuthi menerangkan hal serupa dalam kitabnya, yang intinya… aku tahu kok kamu tidak suka hal ruwet makanya langsung inti,” goda Cak Nan.

            “Ya, sudah lah. Cepat jelasin! Nyinyirin mulu.”

            “Jadi, intinya, tayamum menggunakan debu hasil gasab itu masih sah, karena debu hasil gasab itu hanya sebuah alat tayamum, bukan merupakan tujuan utama dari tayamum.”

            “Kok bisa begitu, alur berpikirnya bagaimana, Cak?” tandas Kang Hamim.

            “Lho malah nantang, dikasih roti mintanya tepung? Oke gak masalah, jadi gini, kita flashback ke masalah kasus boleh tidaknya menjamak salat dalam perjalanan yang merupakan rukhsah. Yang masuk dalam pembahasan rukhsah tak boleh dikaitkan dengan maksiat ada pada contoh melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat, semisal ingin pergi merampok bank. Ini yang dimaksud dengan ma’shiah bis-safar, yang saat melakukan perjalanan tidak boleh menjamak salat. Berbeda dengan kasus bila perjalanannya dengan tujuan baik, semisal silaturahmi, tapi di tengah perjalanan tergoda mampir ke tempat pelacuran. Ini yang disebut dengan ma’shiah fis-safar dan masih dibolehkan melakukan penjamakan salat karena maksiatnya terjadi di luar tujuan awal. Ingat?”

            “Iya, aku ingat pembahasan itu. Lanjut-lanjut!” jawab Kang Hamim meyakinkan dengan menggebu.

            “Oke aku lanjutkan keterangannya. Kasus ini sama halnya dengan bertayamum menggunakan debu hasil gasab. Karena tujuan awal tayamum untuk melakukan kewajiban salat dan debu bukan merupakan tujuan utama. Maka, tayamum dalam kasus ini masih sah dengan konsekuensi mendapat dosa sebab tindakan gasab tersebut. Berbeda kalau dari awal tujuan tayamum untuk bermaksiat, walaupun menggunakan debu miliknya sendiri, tayamumnya tetap tidak sah. Kembali ke kaidah Al-Rukhashu la Tunathu bil Ma’ashi, (tujuan utama melakukan) rukhsah tak boleh berkaitan dengan maksiat. Begitu terjemah yang pas. Paham?” tanya Cak Nan memastikan.

            “Hm… oke lah, sedikit terbuka pikiranku. Nanti aku pikir-pikir lagi biar pemahamanku matang. Terima kasih.”

            “Sama-sama. Lain kali kalau sorogan[2] ke aku saja, tidak usah sok ke kakak tingkat. Dan jangan lupa bawa kopi sama gorengan secukupnya. Hehe,” canda Cak Nan.

            “Huuu, dasar!”

*disarikan dari kitab Tuhfah Al-Muhtaj li Ibn Hajar Al-Haitami dan Al-Asybah wa Al-Nadhair li Al-Suyuthi

Sabtu, 17 September 2022

Penulis: Muhammad Miqdadul Anam

Editor: Syachrizal Nur .R.S


[1] Keringanan yang diberikan Allah kepada umat Islam dalam beribadah

[2] Pembelajaran kitab kuning secara face to face antara murid dan guru. Si murid membacakan kitab tanpa harakat dan disimak oleh sang guru.

Tulisan Lainnya

Overthinking Debu Tayamum

Tulisan Lainnya