Search
Close this search box.

Boleh, Tapi Secukupnya (Kaidah Keempat)

Kita hidup di dunia ini tidak ada yang tahu pasti bagaimana alurnya. Karena semua sudah di atur oleh yang Maha dari segala Maha. Maka darinya, tidak menutup kemungkinan kita akan berada di satu fase di mana kita dalam keadaan yang tidak mengenakkan. Hal itu wajar terjadi karena ibarat roda, hidup kita kadang berada di atas maupun di bawah. Nah pun tidak menutup kemungkinan kita akan berada di satu kondisi yang mendesak untuk melakukan satu hal yang dilarang oleh agama. Lalu apa yang harus kita lakukan ketika dalam kondisi tersebut? Mungkin sedikit apa yang akan dibahas setelah ini bisa membantu anda menghadapi masalah tersebut.

Ada satu kaidah fikih yang bisa anda gunakan di masalah ini. Yakni kaidah الضرر يزال yang bermakna “Suatu bahaya bisa dilenyapkan”. Apa maksudnya? Jadi begini, sebuah bahaya (keadaan mendesak) yang menyebabkan kita diharuskan melakukan hal yang dilarang syariat, maka boleh bagi seseorang tersebut menerjang sebuah larangan. Kaidah ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan diabadikan dalam kitabnya Muwatta’, yang berbunyi “ لا ضرار ولا ضرار”  : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain”. Makna yang bisa kita ambil dari hadis di atas ialah ketika jalan satu-satunya kita bisa keluar dari bahaya dengan cara melanggar syariat, maka boleh kita menerjang syariat dengan tujuan untuk terhindar dari bahaya. Dan itulah yang dimaksud dari “Jangan membahayakan diri sendiri” pada hadis di atas. Lalu apa kategori dari bahaya itu?

Suatu kondisi yang bisa dianggap sebagai bahaya ialah jika seseorang tidak keluar dari kondisi tersebut maka dapat menyebabkan kematian pada dirinya. Seperti contoh orang lapar yang ketika tidak makan sesuatu maka ia dapat meregang nyawa. Atau seperti seseorang yang butuh pakaian. Jika tidak memakai pakaian maka ia bisa mati kedinginan.

Mungkin dari keterangan tentang kondisi bahaya di atas kita bisa menarik contoh darinya. Semisal ada seseorang tersesat di hutan, dan pada saat itu ia dalam keadaan sangat lapar sedangkan bekal yang ia bawa sudah habis dari tadi. Ia pikir jika dia tidak makan saat ini mungkin ia akan mati. Lalu dilalah ada bangkai ular didepanya. Kalau kita meninjau dari syariat tentang hukum makan bangkai sendiri diharamkan. Namun dalam kondisi seperti ini syariat tidak diberlakukan karena lebih menimbang keselamatan jiwa. Hal ini pun juga sesuai dengan apa yang tertuang dalam maqasid al-syariah (tujuan syariat) yakni tentang hifdzu an-nafs atau menjaga keselamatan jiwa. Meskipun di sana juga ada maqasid yang lain yakni hifdzu ad-din (menjaga agama), namun hifdzu an-nafs lebih didahulukan. Contoh lain bahwa menjaga keselamatan jiwa lebih didahulukan dari menjaga agama yakni semisal ada orang salat sedang di depanya ada orang tenggelam. Maka baginya diharuskan membatalkan salatnya untuk menolong orang yang tenggelam tadi.

Lalu apakah ada batasan seseorang diperbolehkan melanggar syariat? Ternyata ada. Batas seseorang diperbolehkan menerjang aturan syariat yakni secukupnya dan sewajarnya. Semisal kita ambil contoh di atas berati seseorang boleh memakan bangkai tersebut sampai ia kenyang sekiranya ia dapat meneruskan perjalanannya. Maka darinya bagi orang tersebut tidak diperbolehkan menyimpan daging bangkai sebagai bekal. Kesimpulannya, dari sini kita bisa melihat begitu besar perhatian syariat terhadap sebuah nyawa. Bahkan syariat rela mengalah demi keberlangsungan hidup seseorang. Maka darinya, sayangi diri kalian. Sekian dan terima kasih. Wassalam.

Penulis: M. Ilham Firmansyah
Penyunting: Syachrizal Nur R. S.

Tulisan Lainnya

Boleh, Tapi Secukupnya (Kaidah Keempat)

Tulisan Lainnya