Search
Close this search box.

Ketika Air Sungai Kemasukan Najis, Apakah Airnya Dihukumi Najis?

KAMPUS POJOK – Sering kali kita melihat air sungai kemasukan najis, seperti kotoran manusia atau kotoran binatang. Biasanya kita menganggap bahwa air tersebut tidak menjadi najis, atau tidak dihukumi sebagai air najis, dengan dalih bahwa air tersebut kadarnya banyak, dalam arti mencapai dua kullah, sehingga ketika kemasukan najis tidak langsung dihukumi najis.

Yang menjadi pembahasan adalah apakah anggapan seperti di atas dapat dibenarkan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami pembagian air dalam ilmu fikih terlebih dahulu.

Dalam ilmu fikih air terbagi menjadi dua macam, yakni air yang diam dan air yang mengalir, sedangkan air sungai tergolong sebagai kategori air yang mengalir. Terkait hukum air yang mengalir ketika kemasukan najis, Imam An Nawawi dalam kitabnya Minhajut Talibin menjelaskan:

وَالْجَارِي كَرَاكِدٍ وَفِي الْقَدِيمِ لَا يَنْجُسُ بِلَا تَغَيُّرٍ

Artinya: “Hukum al jari (air yang mengalir) itu sama dengan hukum ar rakid (air yang diam), sedangkan menurut qaul qadim air yang mengalir tidak bisa dihukumi najis kecuali ketika terjadi perubahan.” 

Penjelasan imam An Nawawi di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Qaul Jadid dan Qaul Qadim imam Syafi’i dalam menghukumi air yang mengalir. Namun sebelum membahas perbedaan tersebut, kita harus memahami pengertian al jari (air yang mengalir) dahulu.

Pengertian Air yang Mengalir

Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj menjelaskan:

(وَالْجَارِي) وَهُوَ مَا اِنْدَفَعَ فِي مُنْحَدَرٍ أو مُسْتَوٍ فَإِنْ كَانَ أَمَامَهُ اِرْتِفَاعٌ فَهُوَ كَالرَّاكِدِ وَجَرْيُهُ مَعَ ذَلِكَ مُتَبَاطِئٌ لَا يُعْتَدُّ بِهِ

Artinya: “Al jari adalah air yang mengalir pada permukaan yang turun atau rata, berbeda ketika air tersebut mengalir dari permukaan yang rendah ke permukaan yang lebih tinggi maka tidak bisa disebut dengan al jari, karena dalam kondisi tersebut aliran airnya pelan, sehingga tidak dianggap.”

Penjelasan imam Ibnu Hajar di atas menunjukkan bahwa air bisa disebut sebagai al jari (air yang mengalir) ketika aliran air tersebut terjadi pada permukaan yang turun atau rata, seperti air sungai. Sedangkan air yang mengalir menuju permukaan yang lebih tinggi itu tidak bisa disebut sebagai al jari, tetapi statusnya adalah ar rakid (air yang diam).

Setelah memahami pengertian al jari, kita juga harus memahami cara menghukuminya ketika kemasukan najis. Imam Muhammad bin Ahmad As Syirbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj menjelaskan:

لَكِنَّ الْعِبْرَةَ فِي الْجَارِي بِالْجَرْيَةِ نَفْسِهَا لَا مَجْمُوعِ الْمَاءِ

Artinya: “Dalam menghukumi al jari (air yang mengalir) adalah dengan meninjau perjiryah (gelombang)nya, bukan dengan meninjau keseluruhan air tersebut.” 

Kemudian beliau menjelaskan pengertian jiryah (gelombang):

وَهِيَ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ الدَّفْعَةُ بَيْنَ حَافَّتَيْ النَّهْرِ عَرْضًا، وَالْمُرَادُ بِهَا مَا يَرْتَفِعُ مِنْ الْمَاءِ عِنْدَ تَمَوُّجِهِ، أَيْ تَحْقِيقًا أَوْ تَقْدِيرًا

Artinya: “Al jiryah adalah air yang menggelombang di antara dua tepi sungai, baik gelombang tersebut tampak, dalam arti bisa kita lihat, atau tidak tampak, dalam arti gelombang tersebut kecil, sehingga tidak bisa kita lihat, namun sekedar kita kira-kirakan.” 

Penjelasan imam Muhammad bin Ahmad As Syirbini di atas menunjukkan bahwa untuk menghukumi najis atau tidaknya air yang mengalir adalah dengan meninjau pergelombangnya, bukan keseluruhan airnya. Hal ini karena air yang mengalir memiliki sifat terlepas dari permukaan yang sudah dilewatinya, dan menuju permukaan yang akan dilewatinya.

Sehingga air yang mengalir memiliki status munfasilatun hukman muttasilatun hissan, yakni secara hukum berpisah, meskipun secara tampaknya sambung. Lebih sederhananya, antara satu gelombang dengan gelombang yang berada di depan dan belakangnya memiliki hukum yang berbeda, meskipun secara tampak mata gelombang-gelombang tersebut sambung.

Hukum Air yang Mengalir Menurut Qaul Jadid

Menurut qaul jadidnya imam Syafi’i, hukum air yang mengalir itu sama dengan hukum air yang diam. Yakni ketika volume air tersebut atau volume satu gelombang air (pada air yang mengalir) kurang dari dua kullah (216 liter) maka bisa dihukumi najis dengan hanya kemasukan najis, meskipun salah satu dari bau, rasa, dan warnanya tidak berubah.

Berbeda dengan ketika volume air tersebut atau volume satu gelombang air mencapai dua kullah, maka tidak bisa dihukumi najis dengan hanya kemasukan najis, tetapi baru bisa dihukumi najis ketika salah satu dari bau, rasa, dan warnanya berubah. Perincian di atas berlandasan pada hadist:

اِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

Artinya: “Ketika volume air mencapai dua kullah maka air tersebut tidak bisa menerima hukum kenajisan”. (H.R. Ibnu Hibban)

Dan hadist:

الْمَاءُ لَايُنَجِّسُهُ شَيْءٌ اِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

Artinya: “Suatu air tidak bisa dihukumi najis kecuali ketika salah satu dari bau, rasa, dan warnanya berubah”. (H.R. Ibnu Majah)

Yang mana kedua hadist di atas memiliki status keumuman dari satu sisi, dan status khusus dari sisi yang lain. Status keumuman hadist pertama adalah berlaku pada air yang salah satu dari ketiga sifatnya berubah dan selainnya, sedangkan status khususnya adalah hanya berlaku pada air yang volumenya mencapai dua kullah.

Sedangkan status keumuman hadist kedua adalah berlaku pada air yang volumenya mencapai dua kullah dan yang kurang dari dua kullah, sedangkan status khususnya adalah hanya berlaku pada air yang salah satu dari ketiga sifatnya berubah. Kemudian kedua hadist di atas dikomparasikan.

Yakni status keumuman hadist pertama dibatasi dengan status khusus hadist kedua. Dan sebaliknya, yakni status keumuman hadist kedua dibatasi dengan mafhum mukhalafah (pemahaman berlawanan) dari status khusus hadist pertama.

Sehingga ketika kita melihat air sungai kemasukan najis maka kita harus meninjau terlebih dahulu, dalam arti gelombang yang kemasukan najis tersebut volumenya mencapai dua kullah atau tidak.

Ketika volume gelombang tersebut kurang dari dua kullah maka hukum hukum airnya adalah najis, berbeda ketika volume gelombang tersebut mencapai dua kullah, maka airnya tidak bisa dihukumi najis, kecuali ketika terjadi perubahan.

Alasan qaul jadid menyamakan hukum air yang mengalir dengan hukum air yang diam adalah karena kondisi air dalam kedua hadist di atas umum, dalam arti kedua hadist di atas tidak memerinci antara hukum air yang mengalir dan yang diam. Sehingga dari karakter hadist yang seperti itu dapat dipahami bahwa hukum air yang mengalir dan yang diam itu sama.

Hukum Air yang Mengalir Menurut Qaul Qadim

Sedangkan menurut qaul qadimnya imam Syafi’i, hukum air yang mengalir itu berbeda dengan hukum air yang diam. Yakni air yang mengalir tidak bisa dihukumi najis dengan hanya kemasukan najis, tetapi baru bisa dihukumi najis ketika salah satu dari bau, rasa, dan warnanya berubah, baik volume gelombang yang kemasukan najis tersebut mencapai dua kullah atau tidak.

Alasan qaul qadim adalah karena air yang mengalir itu lebih kuat dibanding dengan air yang diam, sehingga hukumnya disamakan dengan ma’un ghusalah (air bekas mensucikan najis), yakni tidak bisa dihukumi najis kecuali ketika salah satu dari ketiga sifatnya berubah. 

Setelah mengetahui perbedaan pendapat antara qaul jadid dan qaul qadimnya imam Syafi’i terkait hukum air yang mengalir ketika kemasukan najis, kita harus mengetahui cara penerapan kedua pendapat di atas.

Yakni ketika satu gelombang air dihukumi najis maka gelombang yang berada di depan dan belakangnya tetap dihukumi suci. Dan setiap permukaan yang dilewatinya menjadi najis, dan yang mensucikan permukaan tersebut adalah gelombang setelahnya.

Sehingga satu gelombang setelahnya dihukumi musta’mal, dalam arti tidak bisa digunakan untuk bersuci. Dan gelombang yang berada di belakang gelombang yang musta’mal sudah dihukumi suci sekaligus bisa mensucikan.

Redaktur: Dicky Feryansyah 
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

#semangat literasi

Tulisan Lainnya

Ketika Air Sungai Kemasukan Najis, Apakah Airnya Dihukumi Najis?

Tulisan Lainnya