Search
Close this search box.

Penentuan Awal Ramadhan

awal ramadhan

Bukan rahasia lagi bahwa penentuan awal puasa Ramadhan di Indonesia mengalami perbedaan. Yang masyhur di telinga kita, perbedaaan muncul antara NU dan Muhammadiyah. Dua kelompok besar yang sama-sama sudah mencapai usia satu abad. Entah apa penyebabnya, hingga penentuan awal Idul Fitri pun keduanya masih sering mengalami perbedaan. Tidak mengapa. Positifnya, hal tersebut tidak sampai membuat keduanya berseteru.

Penulis sendiri belum paham betul faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia bisa berbeda dalam penentuan awal puasa Ramadhan. Namun, penulis tidak akan membahas terlalu jelimet perbedaan tersebut. Penulis hendak membahas hadis Nabi Muhammad yang berbicara perihal penentuan awal Ramadhan yang dahulu biasa dilakukan oleh umat Islam.

Hadis yang penulis maksud adalah sebagai berikut,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلالَ فَصُومُوا، وَإِذَا ‌رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“ketika kalian melihat bulan tanda masuknya bulan Ramadhan, maka puasalah! Dan jika kalian melihat bulan tanda masuknya bulan Syawal, maka berhentilah berpuasa! Dan jika kalian tidak melihatnya sebab tertutupi oleh mendung, maka kira-kirakanlah hitungan tiga puluh hari bulan Sya’ban.”

Secara garis besar, hadits tersebut hendak menginformasikan kepada kita mengenai dua hal. Pertama, perihal penentuan awal puasa. Puasa bisa kita laksanakan ketika bulan pertanda masuknya bulan Ramadhan sudah terlihat. Namun, tidak disyaratkan semua masyarakat muslim melihat langsung bulan tersebut. Cukup dengan satu orang. Apalagi, zaman sekarang dibantu oleh teknologi yang canggih. Sehingga bisa dengan mudah melihat bulan tersebut dengan bantuan alat canggih.

Kedua, ketika ternyata pada proses melihat tersebut langit mendung, kita bisa mengira-ngirakan hitungan tiga puluh hari bulan Sya’ban. Karena ketika mendung, kita sangat kesulitan untuk melihat bulan tersebut secara langsung. Sehingga solusi yang muncul adalah dengan menyempurnakan hitungan tiga puluh hari bulan Sya’ban.

Konsep di atas berlaku juga dalam penentuan awal Idul Fitri. Bisa dengan melihat langsung bulan atau menyempurnakan hitungan ketika kondisi mendung melanda. Jadi, mulai puasa dengan melihat bulan. Mengakhiri puasa pun juga dengan melihat bulan. Jika tidak dimungkinkan untuk melihat bulan, maka bisa dengan menyempurnakan hitungan jumlah hari. Gampang, bukan? 

Kesimpulan

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan dari hadis di atas. Pertama, hadis tersebut menunjukkan perihal wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan. Kedua, penentuan awal Ramadhan ketika sudah melihat bulan Ramadhan. Ketiga, menyempurnakan hitungan tiga puluh ketika kondisi untuk melihat tidak memungkinkan. Dan keempat, adanya larangan berpuasa ketika bulan Syawal datang. Sekian! Terimakasih!

Redaktur: Moch Vicky Shahrul Hermawan
Peenyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Penentuan Awal Ramadhan

awal ramadhan

Tulisan Lainnya