Search
Close this search box.

Wara’ adalah Sifat Dasar Seorang Fakih

wara' menghindari syubhat

KAMPUS POJOK – Sering kali kita mendengar kata wara’, bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita yang mempunyai lingkungan religius. Namun, banyak dari  kita yang tidak mengetahui, tentang apa sebenarnya pengertian dari wara’.

Dan pada edisi kali ini kita akan mengetahui bahwasanya, perilaku seorang faqih ialah wara’. Dan sebelum itu, maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang pengertian dari wara’

Wara’ ialah sebuah perilaku menjauhi segala perkara yang bersifat subhat (belum jelas status haram maupun halalnya). Maka dari definisi di atas dapat kita mengerti, bahwa untuk melakukan perilaku wara’ harus mengetahui terlebih dulu segala sesuatu yang halal dan yang haram. Dan tidaklah kita dapat mengetahui segala sesuatu tersebut, kecuali dengan kita mengerti hukum fikih. Oleh karena itu sebelum melakukan perilaku wara’, alangkah baiknya kita mengetahui ilmu fikih terlebih dahulu. Agar kita tahu apa saja yang harus kita hindari.

Klasifikasi Wara’

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengibaratkan, bahwa seperti halnya rasa manis yang bersifat panas memiliki tingkatan, maka begitu pula haram yang memiliki sifat buruk atau jelek. Dalam artian sebagian sesuatu yang haram itu lebih buruk daripada yang lainya. Maka dari itu beliau membagi perilaku wara’ dari perkara haram menjadi empat tingkatan dari yang terendah sampai yang tertinggi, yakni :

  1. Wara’ Udul

Ialah menjauhi segala sesuatu yang telah berlabel haram menurut fatwa para ulama. Dan ketika ia melakukan sesuatu tersebut, maka ia akanterkenal sebagai orang fasik dan juga orang yang bermaksiat. Seperti; menjual barang orang lain tanpa izin, serta melakukan segala transaksi tanpa memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan syariat. Maka untuk berada di tingkatan ini, setidaknya kita harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat yang sesuai syariat dalam sebuah transaksi. 

  1. Wara’ Sholihin

ialah menjauhi segala sesuatu yang syubhat atau memiliki potensi bersifat haram. Karena belum adanya kejelasan status perihal haram ataupun halalnya, namun hal tersebut mendapatkan toleransi dari ulama. Seperti; seorang pemburu yang telah menembak seekor rusa, kemudian rusa tersebut menghilang. Dan sesaat kemudian sang pemburu menemukan rusa tadi, dalam kondisi sudah mati, serta tiada luka selain bekas tembakan dari sang pemburu. Meskipun rusa ini telah dihukumi halal karena adanya prasangka yang kuat bahwasanya, rusa tersebut mati sebab tembakan, dengan bukti tiada luka selain bekas tembakan sang pemburu. Namun masih ada kemungkinan, bahwa rusa tersebut mati sebab jatuh ataupun terbentur batu yang menyebabkan ia dihukumi sebagai bangkai. Sehingga menjauhinya merupakan perilaku wara’, sebab adanya kemungkinan yang menjadi sebab kematian rusa tadi, berupa jatuh ataupun terbentur.

  1. Wara’ Muttaqin

Ialah menjauhi sesuatu yang asalnya diperbolehkan karena adanya kekhawatiran, sesuatu tersebut dapat menjadi perantara kepada sesuatu yang haram. Seperti perkataan baginda nabi Muhammad SAW :  

  لا يبلغ العبد درجة المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة ما به بأس

Artinya : “ Tidaklah seorang hamba mencapai derajat seorang yang bertakwa, hingga ia meninggalkan apa yang sebenarnya diperbolehkan baginya, karena adanya kekhawatiran perkara tersebut dapat menjadi perantara menuju sesuatu yang haram”. 

Adapun contohnya ialah mencegah pelunasan hutang secara sempurna karena adanya kekhawatiran akan lebihnya uang hutang. Misal; mengembalikan satu dirham saat teman kita melunasi hutangnya, karena adanya kekhawatiran tentang lebihnya uang yang ia berikan. Dan juga menjauhi makan sampai kenyang, karena khawatir akan menjadi budak atau menuruti nafsu, dan lain-lain.

  1. Wara’ Shadiqin

Ialah menjauhi segala sesuatu yang bermula dari syahwat ataupun nafsu. Adapun orang yang bisa sampai derajat ini sangat sedikit, karena prinsip mereka adalah segala sesuatu yang bersifat tidak untuk Allah (lillahi ta’ala) adalah haram.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa, untuk menjadi mutawari’ (orang yang berperilaku wara’) kita harus mengetahui ilmu fikih terlebih dahulu atau menjadi seorang faqih. Karena dalam tingkatan ketiga maupun keempat yakni, wara’ udul dan juga wara’ sholihin ada tuntutan untuk mengetahui tentang hukum haram maupun halalnya suatu perkara. Dan sangat sulit sekali bagi kita, untuk bisa mencapai tingkatan teratas tanpa melalui tingkatan terendah terlebih dahulu. 

Ada ulama yang mengatakan “ Barang siapa bertasawuf tanpa ilmu fikih, maka ia adalah orang zindiq. Adapun orang yang memperdalam ilmu fikih tanpa bertasawuf, maka ia adalah orang fasik”.

Redaktur: M. Rikza
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Wara’ adalah Sifat Dasar Seorang Fakih

wara' menghindari syubhat

Tulisan Lainnya