Search
Close this search box.

Menolak Stigma Para Sufi, Melihat Ambivalensi Oknum Tak Tahu Diri

9

Tidak pernah terbayang, angkatan bijak bestari yang selama ini dianggap kelompok elite Islam, ditampar keras oleh sebagian kelompok melalui tuduhan keji. Bahkan, mereka dicurigai sedang membawa motif menyembelih syariat.

Agaknya, stigma buruk terhadap kaum sufi—angkatan bijak bestari itu—jelas tidak benar. Tuduhan bahwa mereka berupaya menjegal jalan syariat adalah sinisme licik. Tidak hanya itu, penyematan dusta atau pembual dalam agama juga dilekatkan dalam diri mereka. Sehingga dari itu, banyak orang-orang ‘baru’ ikut mendamprat dan kesan buruk mengerat di hati mereka.

Oknum yang melancarkan skandal ini benar-benar keterlaluan; mereka keras mencaci kaum sufi tapi di sisi lain secara tidak sadar (atau pura-pura?) mereka berani mencomot ibarat, ungkapan-ungkapan kontemplatif para sufi. Dengan jemawa, di podium-podium orasi atau dalam isi khotbah, mereka lantang membaca kutipan itu tanpa perlu merasa malu atau bersalah.

Misalnya[i], ungkapan Imam Junaid Al-Baghdadi, bahwa semua jalan itu buntu kecuali bagi yang mengikuti petunjuk Nabi, mengerjakan sunahnya, menetapi jalannya. Dzun Nun Al-Mishri punya pernyataan apik; ilmu tauhid itu tidak akan keluar dari empat hal antara lain, cinta Allah, tidak suka dunia, mengikut Al-Qur’an dan takut hilang iman. Termasuk cinta Allah adalah berusaha menjalankan perintah Nabi, sunah dan akhlak-akhlak beliau.

Imam Sariy As-Saqhti merumuskan pola kaum sufi pada tiga hal. Yakni, ketika sudah sampai makrifat, sikapnya tetap terjaga dari larangan syariat. Kedua, tidak pernah menyampaikan ilmu yang menyalahi nas kitab dan sunah. Ketiga, tidak mendewakan karamah sehingga berani menebas larangan. Abu Yazid Thaifur mewanti-wanti soal karamah, katanya, kalau ada seseorang diberi kelebihan (misalnya) terbang ke langit, jangan buru-buru terpukau sebelum dipastikan ia menjaga perintah dan larangan dan tidak melampaui batas syariat. Abu Hasan Ahmad bin Abi Al-Hawari menambahkan; orang yang bertindak tidak sesuai Al-Qur’an-hadis, dipastikan salah. Lebih ekstrem lagi pernyataan Abu Hafs Umar bin Maslamah Al-Hadad, bahwa orang yang bekerja, berkata dan bersikap di luar al-kitab dan sunah, atau tidak senantiasa mencurigai isi hatinya, dia bukanlah seorang wali.

Identitas seseorang tidak cukup diukur dari tampilan zahir. Untuk mengetahui hakikat sosok, cara yang dianjurkan ulama adalah bertemu muka atau klarifikasi dua mata (jika ada yang perlu dicroshceck). Peristiwa yang mengenang Abu Yazid Al-Busthami, suatu pagi ia dan santri-santrinya berpapasan dengan (yang kabarnya seorang) wali sedang meludah ke arah kiblat di jalan menuju masjid. Melihat sikap orang itu, Abu Yazid sontak pergi dan tidak memercayai kabar kewaliannya. Katanya, meludah sembarang tidak pernah diajarkan Nabi. Bagaimana dianggap wali, orang yang tidak menjaga sikap Nabi.

Pola bersikap seperti yang tergambar di atas sangat berkelindan dengan kaum sufi. Para bijak bestari yang dipandang sebagai kaum elite Islam selalu pada jalan istikamah Al-Qura’n-Hadis dan tidak pernah melompati pagar syariat. Adapun tuduhan neka-neka dari oknum tak tahu diri apa pun yang dikatakannya adalah wujud kedangkalan wawasan yang kemudian tanpa mereka sadari telah membentuk ambivalensi pada hati masing-masing.

Tabik.

Penulis: Ilham Romadhan

Penyunting: Miqdadul Anam


[i] Dalam uraian pada tema ini, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menukil beberapa ibarat pemuka sufi seperti Imam Junaid, Dzun Nun, Abu Yazid dan lainnya agar oknum yang bersangkutan menyadari bahwa ungkapan yang selama ini mereka comot adalah ungkapan para sufi.

Tulisan Lainnya

Menolak Stigma Para Sufi, Melihat Ambivalensi Oknum Tak Tahu Diri

9

Tulisan Lainnya