Search
Close this search box.

Top up Diamond Bocil Game Online

Setahun lalu, ada berita yang viral di jagat maya tentang seorang bapak dan ibu yang
memprotes kasir Indomaret. Bapak tersebut menuntut pertanggungjawaban kasir Indomaret
lantaran anaknya top up game sebesar Rp 800 ribu. Namun. bukannya mendapat dukungan
dari warganet, bapak dan ibu tersebut justru dihujat habis-habisan oleh mereka.
Sebenarnya, kemarahan ini dipicu oleh anaknya yang mencuri uang sebesar Rp. 800
ribu. Kemudian si anak memakainya untuk top up game di Indomaret dan tak ada larangan
sama sekali dari kasir. Jumlah tersebut memang tergolong banyak untuk ukuran anak kecil.
Namun, dalam proseduralnya, si bapak tidak tahu kalau untuk pelaporan seperti itu bukan ke
kasir, tapi ke pihak perusahaan penyedia top up seperti Unipin. Akhirnya bapak tersebut
menyampaikan klarifikasi.


Lantas, bagaimana fikih menanggapi hal tersebut? Apakah memang dibenarkan anak
kecil melakukan transaksi jual-beli, terlebih nominal top up-nya yang terbilang tinggi?

Di masyarakat kita, banyak melihat anak kecil yang belum mencapai usia dewasa
sudah dilatih oleh orang tuanya untuk berbelanja. Contoh saja, ada anak kecil yang diserahi
orang tuanya untuk membeli barang dagangan yang remeh, misalnya hanya jajanan yang
seharga Rp. 1.000 sampai dengan Rp. 5.000.

Dalam bab jual-beli, pihak yang bertransaksi –baik penjual maupun pembeli—
memiliki syarat tersendiri: Mukalaf (balig dan berakal), tidak terpaksa serta beragama Islam
bagi yang ingin memiliki budak Islam dan mushaf. Namun, pendapat lain mengatakan syarat
pelaku transaksi lebih baik menggunakan redaksi “Ithlaq Al-Tasharauf” (bebas mengelola
harta).


Dari syarat di atas dapat dipastikan bahwa jual-beli tidak boleh dilakukan oleh anak
kecil (shabiy), tidak cakap (ghairu rasyid), orang yang dipaksa (mukrah) dan orang tak
berakal. Dengan begitu, bila kembali ke kasus di atas, top up Rp. 800 ribu yang dilakukan si
bocil hukumnya tidak sah.

Namun, sebenarnya ada peluang fikih yang dipaparkan ulama mengenai kelonggaran
transaksi yang dilakukan anak kecil ini. Hal ini memandang bahwa transaksi tersebut telah
umum berlaku di masyarakat. Tentu, hal demikian dapat dikatakan sebagai kebutuhan.
Sehingga, ada sebagian ulama yang memberi solusi jual-beli model seperti ini diarahkan ke
bai’ al-mu’athah, jual-beli tanpa adanya kontrak (shighat).

Syarat berlakuknya bai’ mu’athah ini adalah adanya saling rida antara penjual dan
pembeli dan tidak ada unsur saling menzalimi. Maksudnya, misal pembeli menyerahkan uang
senilai Rp. 5000 maka barang yang diserahkan juga harus sesuai dengan uang yang
diserahkan. Tidak seperti pembeli anak kecil yang menyerahkan uang Rp. 10.000 namun yang diberikan oleh penjual malah hanya sebungkus permen. Tentu ada kezaliman dalam
transaksi ini.

Di samping kesahan jual-beli anak kecil dengan metode mu’athah, ada syarat lagi
yang harus dipenuhi mengingat ini merupakan kelonggaran hukum. Syarat tersebut adalah
barang yang di beli si kecil tidak boleh barang berharga, harus yang remeh-remeh seperti
makanan ringan dan jumlahnya sedikit. Pendapat yang diutarakan Imam Ahmad bin Hambal
malah memperbolehkan barang yang banyak. Selain itu, juga harus seizin orang tua atau
wali.

Dengan begitu, melihat hukum yang dipaparkan di atas, jual-belinya anak kecil
hukumnya sah untuk barang yang remeh, tidak banyak dan tidak mahal. Terlebih hal ini
sudah berlaku umum di masyarakat. Kelonggaran hukum mu’athah (pengalihan kepemilikan
tanpa perjanjian) tentu memiliki catatan bahwa harus ada pengawasan orang tua atau wali.

Bila kita melihat kembali kasus di pembuka yang pernah terjadi setahun silam, akad
yang dilakukan bocil top up Rp. 800 ribu tersebut hukumnya tidak sah. Hal ini dikarenakan
nominal segitu termasuk besar dan bukan hal remeh. Namun, bila top up yang dilakukan
hanya sedikit, maka masih bisa dihukumi sah. Sayangnya, si bocil tadi pun belum minta
persetujuan orang tua karena didapat dari hasil mencuri. Dipastikan hukum jual-belinya tidak
sah.

Maka, untuk menanggulangi ketidaksahan jual-beli oleh anak kecil, pihak orang tua
harusnya tidak memberi uang terlampau banyak pada si anak yang belum muthlaq tasharuf.
Atau semisal si anak ingin membeli barang mewah, orang tualah yang harus membelikannya,
bukan si anak sendiri, agar jual-belinya sah. Kalau si anak masih saja ngeyel minta beli
sendiri, alangkah lebih baik ikut pendapat Imam Ahmad yang membolehkan bai’ mu’atah
pada barang yang tak murah. Wallahu a’lam.

Muhammad Miqdadul Anam

Tulisan Lainnya

Top up Diamond Bocil Game Online

Tulisan Lainnya