Lari Dari Tuhan!

Hal yang seharusnya, manusia menghamba Allah Maha Pencipta. Ia harus bermain sesuai peran dalam panggung dunia yang lebih mirip pertunjukan wayang orang ketimbang wayang kulit. Seorang aktor diwujudkan dan dididik untuk memperagakan skenario sutradara. Sutradara mengatur segala yang menyangkut kebutuhan, tugas dan hak-hak peraga. Selebihnya tentu ia amanatkan kepada panitia dan orang-orangnya. Dengan demikian, pertunjukan akan selesai seperti keinginan mula.

Adalah pongah, jika masing-masing menjalankan tugas tidak sesuai posisinya. Semua rancangan bakal buyar begitu saja. Begitu halnya dalam kehidupan duniawi ini, manusia lazim berlaku sebagai layaknya makhluk; menghamba. Itu esensinya. Tugas utama ia diwujudkan adalah beribadah, diatur. Urusan mengatur, memimpin dan lain-lain selalu di tangan pencipta. Dan sangat tidak mungkin, secara nalar atau fakta, dua tugas itu dilakukan bersamaan. Dengan frasa lain mustahil Manusia ialah Tuhan atau sebaliknya. Jika tidak (diharuskan) menyembah, berarti (harus) disembah.

Tuhan atau manusia. Dua status itu harus selalu pada porsinya. Dan setiap porsi tentu memiliki identitas yang membedakannya dari yang lain. Akan tetapi bagi sebagian orang, identitas itu tampak buram sehingga berujung pada ambiguitas pencampuran dua identitas sekaligus. Ini yang pernah , dan gawatnya, teralami pada Nabi Muhammad SAW. Orang semisal Al-Bushiri, pengarang Kasidah Al-Burdah, dituduh kafir sebab menyifati Nabi dengan beberapa keistimewaan yang menurut mereka hal itu di luar kewajaran manusia. Sehingga mereka simpulkan Al-Bushiri telah menggabungkan dua identitas dalam diri Nabi; manusia dan Tuhan. Tuduhan itu jelas tidak benar. Apa yang dikatakan Al-Bushiri, begitu halnya para washif (yang mendeskripsikan sosok Nabi), benar adanya dan tidak melanggar syariat Islam. Ketergesa-gesaan itu agaknya didasari kedangkalan pengetahuan dan lemahnya daya pikir mereka terhadap hakikat identitas Tuhan dan manusia.

Memang, Islam tidak membenarkan sikap pengkultusan atau pujian hiperbolis kepada selain Allah. Dia, Pencipta, berhak (juga satu-satunya yang pasti) mendapat ‘hak’ itu. Dia memiliki undang-undang pribadi yang harus manusia taati. Seolah mirip diktator, tapi memang sudah seharusnya, bukan? Pemilik rumah memarkir mobilnya sembarangan di garasi, apa perlu tetangga menegur? Pemilik dan Pencipta berhak mandiri atas segala yang Dia miliki dan ciptakan.

Menjadi muslim berarti patut mengamini hal itu. Dan Allah, Pemilik dan Pencipta tunggal, memilih seorang utusan yang dibekali keistimewaan di antara manusia sejenisnya. Nabi Muhammad adalah utusan terakhir yang menjadi ‘musabab’ penciptaan semesta. Allah memerintah untuk mengagungkannya bahkan dijanjikan pahala besar bagi yang melaksanakan. Oleh karenanya, mengagungkan Nabi (termasuk sanjungan) sama sekali lain dari sikap fanatisme—sepanjang tidak menyeberangi batas. Juga bukan suatu kesyirikan atau kufur. Justru sebaliknya, menyanjung Nabi atau para rasul, nabi, malaikat, orang jujur, para martir, orang-orang salih, akan bernilai ibadah di hadapan-Nya. Seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 30 dan 32:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ (32)

ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّه عِنْدَ رَبِّه (30) 

Juga tuduhan syirik kepada umat muslim karena menyembah batu besar (Ka’bah), mencium Hajar Aswad, salat di depan bekas pijak kaki Nabi Ibrahim AS (maqam Ibrahim), berdiri di Multazam dan sebagainya, tanpa mengerti motif. Semua itu adalah menaati perintah Allah serta tetap menegasikan manfaat atau celaka dari selain-Nya.

Tabik.

Penulis: Ilham Romadhan

Penyunting: Miqdadul Anam

‘Wajah’ Asli Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Pembelaan Buya Muhammad Alawi

KAMPUS POJOK – Tak dapat dipungkiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mendapat kursi bintang mengenai akidah Wahabi yang pertama kali—sekaligus penyematan pada namanya—tersebar dan berkembang di negara Saudi. Akibatnya, Wahabi tumbuh optimal laiknya anak-anak sedang mengalami evolusi yang begitu cepat.

Ketika Wahabi mengakar kuat di negara Saudi, bahkan berhasil merenggut hampir seluruh keyakinan masyarakatnya, bagaimanapun Wahabi memperoleh otoritas penuh. Wajar saja jika kemudian negara mengadopsinya sebagai ideologi resmi yang patut dibanggakan. Maka sejak saat itu duka cita Wahabi adalah duka dan cita Muhammad bin Abdul Wahab sebagai satu-satunya inisiator berdirinya paham tersebut.

Namun, seperti kata adagium ‘tak ada gading yang tak retak’, di luar kehendak Syekh Muhammad ada beberapa ‘pengecut’ mencoba memorakporandakan ideologi dengan mengutak-atik kode-kode tertentu yang, tapi anehnya, diimani banyak penganutnya. Termasuk perubahan itu, yakni, budaya kafir-mengafirkan muslim yang beramal di luar ajaran mereka. Padahal, sikap tersebut tidak pernah diajarkan—apalagi dianjurkan—oleh Syekh Muhammad.

Penolakan Syekh Muhammad terhadap oknum ini terlihat jelas dalam surat yang dialamatkannya pada penduduk Qashim; tak dapat disangkal lagi, risalah (surat) Sulaiman bin Suhaim telah sampai pada kalian. Dan ternyata sebagian dari pegiat ilmu mengimani isi surat itu. Demi Allah, apa yang disampaikan surat itu penuh dusta. Dengan mengatasnamakan profil saya, sosok di balik surat melancarkan apa-apa yang tidak saya katakan bahkan yang tak pernah terlintas sedikit pun di benak saya.

Isi Surat

Isi surat itu antara lain; menolak mazhab empat, bahwa perjuangan selama enam abad terakhir belum apa-apa dibandingku, kata Sulaiman. Aku ‘jijik’ untuk bertaklid[i], perbedaan ulama itu musibah—bukan rahmat, orang yang tawasul pada salihin ialah kafir dan Al-Bushiri[ii] termasuk si kafir itu karena ia telah mengatakan (pada satu baitnya); ya akramal khalqi (Wahai ciptaan paling istimewa). Aku ingin sekali—seandainya kuasa—merobohkan tungkup makam Nabi atau mengganti talang Ka’bah (yang terbuat dari emas itu) dengan kayu. Serta aku mengharamkan ziarah makam Nabi dan menolak ziarah kubur orang tua. Siapa saja yang bersumpah selain nama Allah, kafir. Ibnu Farid dan Ibnu Arabi keduanya sama kafir. Aku telah membakar kitab Dalail Al-Khairat dan Raudh Al-Rayahin kemudian kunamai Raudh Asy-Syayathin.

Pernyataan ini dikecam penuh oleh Buya Muhammad Alawi rahimahullah. Di akhir ulasannya beliau bertasbih ‘Subhanaka, ini semua adalah kebohongan besar’[iii]. Beliau menolak keras Sulaiman serta orang-orang dusta yang mengatakan Nabi Muhammad mencela Isa As bin Maryam dan yang mencela para salih. Hati mereka begitu petang oleh kebohongan dan perkataan buruk yang mereka dengungkan.

Syekh Muhammad adalah seorang dari ‘korban’ oknum-oknum seperti di atas. Sebagian paham Wahabi yang kini tersebar—termasuk budaya takfiri—merupakan eksploitasi atas motif tertentu dengan memanfaatkan profil Syekh Muhammad. Terlepas dari benar-tidaknya ideologi yang beliau gagas, bagaimanapun tindakan manipulasi seperti ini sangat jauh dan melawan ajaran agama khususnya Islam yang mendamaikan ini.

Tabik.

Penulis: Ilham Romadhan

Penyunting: Miqdadul Anam


[i] Suatu bentuk peniruan terhadap paham atau keyakinan tertentu tanpa mengerti dasar-dasar atau alasannya.

[ii] Pengarang Qasidah Al-Burdah. Nama lengkapnya Syarafuddin Muhammad Al-Bushiri.

[iii] Beliau mengutip ayat 16 surat An-Nur.

Kaum Takfiri: Gagal Paham Amar Makruf Nahi Munkar

Tidak banyak dari kita mengerti benar soal hal-hal yang dapat mencampakkan seorang muslim dari agama yang dianutnya. Secara praktis yang terjadi, bahkan, orang-orang mudah menganggap murtad (takfiri)[i] hanya karena terlihat lain dengan pemahaman mereka.

Sikap kita, barangkali, cukup beriktikad baik bahwa ada maksud tertentu di balik ‘penyerangan’ iman itu. Boleh jadi hal itu sebagai ekspresi ‘semangat’ beragama dengan menerapkan amar makruf nahi munkar. Tentu kita tidak menyalahkan niat baik ini, akan tetapi cara yang dilakukan agaknya perlu kita tandai, kita curigai.

Jika benar perlakuan mereka itu didorong kuat oleh Al-Qur’an, maka dalam surat An-Nahl ayat: 125 dikatakan; Mengajaklah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah, mauizah hasanah, dan (seandainya diperlukan debat) debatlah dengan cara yang paling baik.

Dakwah yang diajarkan Islam adalah kelembutan. Karena hanya dengan itu manusia menjadi luluh dan mudah menerima. Bayangkan saja Anda merayu muslim untuk salat atau menunaikan kewajiban lain atau menjauhi batas agama dan sebagainya, yang menurut Anda itu benar sementara muslim bersangkut meyakini sebaliknya. Sejurus kemudian Anda melemparkan tuduhan ‘kafir’ hanya karena ia tidak sedang di pihak Anda tanpa menyadari bahwa dalam persoalan tertentu (yang tidak menyangkut dasar-dasar agama)[ii] terdapat ragam pendapat ulama. Anda telanjur menyematkan ‘kafir’ dan menafikan silang pendapat para ulama. Hal demikian mengesankan sikap ketergesa-gesaan yang buruk.

Menurut Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad, bahwa ijmak bersaksi, senyampang dia seorang muslim yang salat (ahlu kiblat) maka haram dituduh kafir kecuali ia tidak percaya keberadaan Tuhan atau syirik secara terang-terangan atau menolak pokok-pokok syariat Islam.

Mengkafirkan orang tanpa ada sebab seperti di atas adalah hal yang sangat mengkhawatirkan. Dalam hadis Bukhari riwayat Abu Hurairah, Nabi bersabda; jika di antara seseorang menuduh saudaranya dengan ucapan ‘Hai, kafir’ maka tuduhan itu bisa mengenai salah satu dari mereka. Sayyid Muhammad Alawi, pengarang, menyatakan; tidak dibenarkan mengkafir-kafirkan orang selain dia yang diliputi cahaya syariat tentang sebab-sebab masuk atau keluar dari Islam. Tidak cukup dengan paham yang terbatas, yang ragu-ragu, yang tak tahu, untuk mengambil peran layaknya wasit dalam penentuan iman seseorang.

Bahkan, ahli maksiat (fasik) selagi ia mengakui keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW tidak boleh dianggap kafir. Dalam hadis riwayat Anas bin Malik, Rasul bersabda; tiga pokok iman, antara lain, 1) larangan menyebut kafir orang yang masih meyakini Allah esa sekalipun bertumpuk dosa, 2) jihad sejak diutusnya Nabi hingga akhir masa berperang dengan Dajjal, 3) Mengimani takdir.

Pada hematnya, penghakiman ‘kafir’ dari siapa kepada siapa harus melewati orang yang benar-benar mengerti seputar konsekuensi dan penyebab hilangnya iman. Semangat praktik beragama harus disertai semangat memahami esensi agama itu sendiri.

Tabik.

Penulis: Ilham Romadhan

Penyunting: Muhammad Miqdadul Anam


[i] Istilah populer ini baru dikenal belakangan untuk menamai pekerjaan sebagian kelompok Islam yang terlihat sering melabeli kafir terhadap penganut paham yang mereka anggap ‘sesat’ dan tidak sesuai syariat.

[ii] Persoalan aksiomatik atau pilar beragama meliputi iman (tauhid), kenabian, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir, nyatanya Hari Kiamat dan peristiwa setelahnya, adanya surga-neraka dsb. Semua ini sering diistilahkan ma’lumatun min ad-Din bi dharurat. Begitu halnya mengingkari khabar mutawatir atau ijmak.

Di Balik Kucing Manis, Ada Harimau Mengaung.

Kitab al-Mafahim Yajibu an Tusahhah (Beberapa Perskpektif Yang Perlu Disegarkan), dianggit seorang ulama top tanah suci; Sayyid Muhammad bin Aalwi Al-Maliki, atau Sayyid Muhammad. Sesuai pandangan penulis, kitab ini harus—karena memang perlu—dikaji terlebih karena banyak tawaran jalan pikir yang seharusnya diimani. Pernyataan ini agaknya berlebihan, tapi begitulah adanya. Selain itu, narasi yang dipakai pengarang cukup ‘menikam’.

Dalam banyak kalimatnya, beliau Sayyid Muhammad memuji tinggi dan memberi feedback mewah kepada pemerintah atau golongan tertentu. Secara zahir hal itu lumrah, wajar-wajar saja. Akan tetapi bagi sebagian pembaca yang menekuni tiap titik-koma kalimatnya barang tentu akan menangkap ‘ketidakwajaran’ yang penulis ibaratkan ‘menikam’.

Ketidakwajaran dalam istilah penulis tidak dimaksudkan buruk, justru sebaliknya. Dalam pengantar, misalnya, pengarang secara diam-diam melancarkan kritik pada anasir tertentu (untuk tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah pemerintah/kelompok bersangkutan) lewat satire-satire. Mula-mula pujian kepada pejabat-pejabat (pemerintah) Saudi, tempat tinggal pengarang, yang dianggap sempurna menegakkan syariat sesuai al-Quran hadis. Sehingga dengan itu keamanan negara dan penduduknya terjamin. Usaha itu agaknya bermula sejak kepemimpinan King Abdul Aziz yang dikenal dedikasinya menyatukan hampir seluruh semenanjung Arab di bawah satu bendera La ilaha illa Allah.

Di masa keemasan itu, negara berjalan seperti remaja meninggalkan masa bocah; mulai wujud prinsip-prinsip bernegara. Hingga kemudian pendatang asing mulai memasuki wilayah dengan ragam topeng yang mereka pakai; topeng penyusup dan topeng agen, melempar kail di air keruh berharap misi mereka terwujud. Maka sejak kehadiran mereka wajah islam mulai tercoreng akibat fitnah/hoax yang mereka layangkan diam-diam.

Namun, kata pengarang, negara tetap memberi ruang kepada siapapun selama masih dalam motif ilmiah seperti penelitian dan hal-hal lain tanpa menghiraukan agama mereka; muslim atau non muslim. Tindakan demikian didasarkan pada nas al-Quran dalam al-Baqarah ayat: 111 atau as-Saba’ ayat: 46 perihal perintah bertoleransi (dalam makna memberi kesempatan) terhadap masyarakat.

Satu hal lagi yang patut diapresiasi, bahwa pengarang menampilkan sifat keterbukannya terhadap kritik konstruktif lebih-lebih dari orang-orang semisalnya. Menjelang akhir pengantar, pengarang merasa perlu adanya sidang dari pemuka Ulama atas semua pemikiran-pemikiran yang beliau susun dalam kitab ini. Seperti kaidah yang lazim, manusia selalu mondar-mandir antara benar-salah, pahala dan dosa. Apa yang dilakukan beliau adalah bentuk kehati-hatian dalam proses ilmiah atau yang lebih urgen di atas itu yakni soal kebenaran paham. Selebihnya, akhlak seperti yang dicontohkan beliau adalah nilai dari kerendahatian.

Tabik.

Penulis: Ilham Romadhan