Search
Close this search box.

Seni Memilih

memilihannur2

Pilihan pertama yang tak dapat tergantikan

Ketika kita sudah memilih suatu barang, dan sudah kita bayar, maka barang tersebut tidak dapat kita tukar tukar dengan barang lain. Itu hal yang lazim terjadi di toko-toko besar yang ada di sekitar kita. Pun juga dalam islam konsep ini berlaku dalam masalah ijtihad. Ketika kita dihadapkan dengan dua hal yang harus dipilih salah satu, lalu kita sudah menentukan pilihan kita, maka pilihan tersebut tidak bisa diganti dengan pilihan yang lain. Lha, kok bisa?

Dalam konsep syariat Islam (Fikih), Ada satu Kaidah dasar yang berbunyi

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد kalau diartikan secara bebas yakni : “sebuah pilihan tidak bisa dihilangkan dengan pilihan lain”. Memang dalam kaidah tersebut memakai kata الإجتهاد yang berarti “bersungguh-sungguh”. Bersungguh-sungguh dalam apa? Yakni dalam menentukan sebuah pilihan atas suatu permasalahan. Berarti, ketika kita sudah menentukan pilihan atas suatu hal beserta konsekuensi hukumnya, maka kita tidak boleh beralih pada pilihan dan konsekuensi hukum yang lain. Munculnya kaidah ini versi Ibnu Shibagh berlandaskan kesepakatan kesepakatan para Shahabat. Alasan lain mengapa Ijtihad kedua tidak berlaku karena ciri khas sebuah hukum sendiri itu tetap. Dengan adanya legalitas berganti ganti pilihan maka hal tersebut dapat merusak ciri khas tersebut.

Aplikasi Kaidah

Kaidah ini masuk dalam banyak permasalahan yang terdapat dalam Fikih. Kita ambil contoh dalam masalah bersuci berikut ini :

Suatu saat, ada seseorang yang ini melaksanakan ibadah Shalat. Tentunya sebelum itu ia harus berwudhu. Namun mengingat sulitnya mencari air bersih di daerah orang tersebut, maka ia hanya menemukan dua wadah saja yang berisi air bersih. Akan tetapi ia masih ragu akan kesucian antara kedua air tersebut. Lalu apa yang harus ia lakukan?

Sesuai dengan ketentuan syariat maka ia harus melakukan Ijtihad. Yakni mencari tahu sebisa mungkin manakah di antara dua wadah itu yang airnya bisa digunakan untuk bersuci. Setelah pilihan telah ditentukan pada satu wadah, maka tak boleh bagi orang tersebut berganti kepada wadah yang lain. Karena wadah yang lain menurut syariat sudah dihukumi najis. Hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari Ijtihad nya tadi. Jika ternyata ia berpindah atau keyakinan nya tadi berubah, maka ia diharuskan untuk bertayammum. Mengapa? Karena pilihan kedua orang tersebut tak dapat diterima, dan pilihan pertama tak dapat digunakan karena keyakinan awalnya sudah hilang.

Kasus di atas sedikit berbeda dalam masalah penentuan arah kiblat. Jika seseorang tak tahu tentang arah kiblat, lalu ia berijtihad untuk menentukan arah kiblat. Dan ia sudah menentukan pilihan. ternyata ia pindah keyakinan arah kiblat. Maka hal tersebut diperbolehkan. Karena ia tidak dianggap berpindah Ijtihad. Pilihan kedua sudah dianggap Ijtihad baru dan tidak bisa dianggap menggagalkan pilihan (Ijtihad) pertama. Juga karena ada faktor lain yang menentukan. Yakni masalah objek hukum antara kedua permasalahan di atas. Karena untuk masalah pertama objek hukum yang berupa air memiliki padanan atau jumlahnya banyak di dunia ini. Sedangkan untuk kiblat (Ka’bah) tidak memiliki padanan dan hanya ada satu di dunia ini. Maka dari itu konsep dari kedua permasalahan ini agak sedikit berbeda meskipun kedua masalah ini sama-sama masuk ke dalam kaidah ini.

Kesimpulan

Kesimpulannya, ketika kita sudah menentukan pilihan. Sebisa mungkin kita teguhkan keyakinan kita dengan pilihan tersebut. Karena kalau kita sudah memilih maka konsekuensinya kita tak dapat mengganti pilihan kita. Sekian dan terima kasih.
Redaktur: Ilham Firmansyah
penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Seni Memilih

memilihannur2

Tulisan Lainnya