Allah sebagai al-Khaliq adalah pencipta segala peristiwa dan pekerjaan makhluk. Di antara pekerjaan itu ada yang sifatnya hissi (fisik) dan ma’nawi (meta fisik). Satu pekerjaan boleh jadi merupakan rekonstruksi dari salah satu saja—bahkan—atau dua sekaligus.
Termasuk esensi tauhid rububiyah yakni keyakinan seorang hamba bahwa Allah satu-satunya dzat yang wajib (karena memang berhak) disembah. Dalam perspektif para Ulama, ibadah ialah sikap paling tegas sebagai interpretasi sekaligus bentuk ikrar atas keesaan Allah. Dalam surat al-‘Araf ayat 59:
لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا اِلٰى قَوۡمِهٖ فَقَالَ يٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمۡ مِّنۡ اِلٰهٍ غَيۡرُهٗ
Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (kiamat).
Sekilas mengisahkan sikap ‘greget’ nabi Nuh dalam prosesi dakwahnya mengajak umat untuk menghamba serta menaati perintah Allah—tidak lain karena tiada Tuhan selain-Nya.[i]
Dengan motif demikian tentu ibadah bukan sekadar laku fisik (gerak tubuh) melainkan juga harus didasarkan pada tujuan utama; kesadaran seseorang sebagai hamba yang mahabutuh terhadap Allah yang mahakaya. Penyembahan itu barang tentu dipahami dari perintah-perintah (nushus) Allah dalam Al-Quran. Keharusan menghadap Ka’bah saat salat, misalnya, ialah broadcast yang bagaimanapun juga wajib ditaati atas dasar titah. Menghadap kiblat tidak bisa digambarkan sebagai ritual penyembahan batu atau berhala, sama sekali tidak. Anggapan seperti itu tertolak sebab keharusan menghadap kiblat adalah dalam rangka menaati perintah, bukan inisiatif belaka.
Akan tetapi dalam praktiknya, banyak ditemui kemiripan ibadah dengan aktivitas lain. Maksudnya, ada pola-pola tertentu yang tampak mirip (dan memang mirip) antara ibadah sebagai kewajiban dan aktivitas sebagai rutinitas. Sehingga kenyataan demikian dapat mengurangi entitas ibadah yang pada hakikatnya (harus) istimewa sebab karena turun dari Dzat yang istimewa pula; Allah SWT. Oleh karena terdapat kesamaran itu, bersama proses berlangsungnya perintah, disyariatkan pula suatu neraca penting yaitu niat.
Adapun maksud dari adanya syariat niat, menurut sebagian besar Ulama antara lain Imam Syafii, agar terpilah jelas antara pekerjaan sebagai ritus dan aktivitas manusiawi. Selain itu, niat penting sebagai pembeda antara tingkatan suatu ibadah (sunah dan wajib, misalnya). Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah yang cenderung memfungsikan niat sebagai pemetak antara dua jenis ibadah atau lebih. [ii]
Ulama memetakan ibadah jenis apa yang harus disertakan niat dan yang tidak harus. Pertama, untuk ibadah yang sama sekali lain dengan aktivitas (tidak ada satupun kemiripan dalam pola sehari-hari) maka tidak perlu menyertakan niat. Seperti, iman, membaca al-Quran, perasaan takut (khauf), berharap (raja’), membaca zikir dan sebagainya. Semua pekerjaan ini sudah sama sekali berbeda dari yang lain sekalipun tanpa niat. Begitu juga tidak wajib berniat meninggalkan larangan-larangan karena cukup dengan tidak melakukan larangan itu.[iii]
Kedua, harus menyematkan niat bagi ibadah yang punya kemiripan teknis di luar ibadah. Seperti, mandi,[iv] puasa[v] atau wudhu.[vi] Niat dalam hal ini juga berfungsi pengategorian kelas ibadah; sunah atau wajib, misalnya.
Sementara ibadah yang punya kemiripan antara ibadah sejenis (misal salat), maka tidak cukup hanya dengan niat tanpa memastikan jenis yang mana. Salat zuhur jelas sangat mirip dengan salat ashar—bahkan hampir tak ada bedanya—kecuali ditentukan bersama niat.[vii] Hal ini didasarkan pada hadis masyhur dari Abu Hafsh; Umar bin Khattab riwayat Imam Bukhari Muslim:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap laku hanya bergantung pada niat. Dan seseorang akan dibalas sesuai yang ia niatkan.”
Penulis: Ilham Romadhan
Penyunting: Muhammad Az-Zamami
[i] Fawaid al-Janiyyah Hasyiah al-Mawahib al-Sunniyah, hal 129, Dar al-Rasyid.
[ii] Lihat Mawahib as-Sunniyah, hal 132,Dar al-Rasyid.
[iii] Maksudnya, untuk dianggap tidak bermaksiat, cukup dengan menjauhi hal itu tanpa perlu niat. Akan tetapi niat menjadi perlu jika tujuan menjauhi maksiat agar mendapat pahala.
[iv] Mandi boleh jadi sebab gerah, untuk terlihat lebih fresh (tandzif) atau dalam rangka ibadah (mandi sunah/wajib).
[v] Boleh jadi orang tidak makan karena sedang diet, terapi dokter dll sehingga untuk mendapat pahala harus diniatkan ibadah.
[vi] Boleh jadi membasuh muka dst untuk keperluan perawatan kulit sehingga membasuh muka baru dianggap ibadah kalau didasari niat.
[vii] Idhahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, hal 10, Dar al-Rahmah al-Islamiah.
No Comment! Be the first one.