Search
Close this search box.

Nabi Pun Perlu Jubir

Seorang Nabi, Presiden, Perdana Menteri, Kanselir, Pemimpin Federasi atau siapapun tokoh politik. Diberi kewenangan untuk menunjuk langsung siapapun yang hendak ia nobatkan sebagai Juru Bicara ‘the spokesman’. Mengapa perlu jubir? karena di taraf tertentu sebagian pemimpin merasa tidak maksimal menyampaikan ide dan memeragakan gagasannya di mana setiap arahannya berimplikasi pada sebuah kebijakan publik.  Meminjam istilah Albert Einsten, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.”  Jika Anda tidak bisa menjelaskannya secara sederhana, Anda tidak memahaminya dengan cukup baik. Maka di sinilah fungsi proporsional seorang jubir. Jadi corong ngocehnya pemimpin.

Ding an sich menjadi seorang jubir adalah pembawa narasi publik. Jubir yang baik mampu merangkum sekaligus menyimpulkan hasil rapat kabinet yang dilakukan oleh pemimpin. Karena ia yang akan sibuk konferensi pers, maka diperlukan ilmu jurnalis dan reportase dalam meramu berita. Karena kaitannya dengan perspektif publik, ia harus memiliki kapasitas berpidato yang cukup ulung di samping keterampilan mereduksi gagasan yang cukup panjang dan bertele-tele. Sesimpel mungkin dan selugas mungkin menyalurkan informasi. Maka diperlukan kepiawaian linguistik dan cermat ragam kaidah bahasa yang sesuai panduan. Intinya harus pah-poh, ndah-ndoh dalam bercakap-cakap. Gak boleh ammm-emmm. Gak boleh telmi. Gak boleh garuk-garuk kepala. apalagi klewas-klewes. Ya, karena jubir merupakan representatif dari seorang pemimpin itu sendiri.

Berbicara tentang jubir. Saya teringat kisah menarik yang langsung dialami oleh Siti Aisyah. Sekali waktu, ada perempuan Anshor menanyakan bagaimana tutorial mandi wajibnya pasca haid yang cukup menggelisahkan. Akhirnya ia mengambil langkah untuk menanyakannya langsung pada Nabi. Tiba di rumahnya, Nabi segera mengajari langkah-langkah membersihkan hadas besarnya.

Nabi berseru, “oke, sekarang kau ambil secuil bunga kapas lalu bersihkan dengan itu!”

Si perempuan tadi bergegas mengambilnya seraya berkomentar, “gimana caranya, Wahai Nabi?”

Nabi menimpali, “yo wes bersihkan pakai itu!”

Dengan raut wajah kebingungan, si perempuan balik berkomentar, “Lha iya piye nyucikannya, Nabi?

Saking geramnya Nabi, “Subhanallah, ngeyel ae iki, Ya udah kamu bersuci pakai itu!”

Mendengar interaksi gak jelas dan tidak berujung. Sontak saja Siti Aisyah bangkit dari tempat nyantainya, lalu menghampiri si perempuan tadi. Ia mengambil kapas yang digenggamnya. “Sini!” ketus Siti Aisyah.

“Gini Lho, kau taruh kapas ini disini, lalu kau geser kesini, kau susul dengan membersihkan tempat keluarnya darah haid, dari sini paham?”

Melihat si perempuan tadi manggut-manggut. Siti Aisyah akhirnya pun puas dengan hasil presentasinya yang mudah dicerna dan dipahami. Keunikan dari Siti Aisyah adalah pertama, daya intelektualnya yang begitu canggih mampu direduksi segampang mungkin dengan cara memeragakan (demonstrate). Boleh dibilang Siti Aisyah adalah istri Nabi yang reduksionis (bisa mengompromikan dengan sederhana esensi hukum dengan ukuran otak umat). Kedua, Siti Aisyah termasuk perempuan yang tak kenal rasa malu dalam menyampaikan hukum, bagaimanapun joroknya, sevulgar apapun, hukum tetaplah hukum. Harus diurai secara detail spesifikasinya. Meski itu kaitannya dengan anggota tubuh bagian dalam. Sealamiah dan senatural mungkin.

Melihat Aisyah asyik menyampaikan aspirasi Nabi. Di waktu yang bersamaan, Nabi tercenung malu merasa gagal mendeskripsikan maksud dan keinginannya. Ya, karena sangkut pautnya hukum kali ini untuk perempuan. Sehingga mau praktik dengan beragam model, Nabi pun belum bisa sampai pada taraf memahamkan. Hal ini karena Nabi itu laki-laki sementara yang tanya perempuan. Kalau boleh ditebak, dalam benak, Nabi bergumam, “Thank you Aisyah, has become a perfect and satisfying presenter today!

Tentulah, Nabi pun butuh jubir.

Penulis: Mohammad Iqbal Imami

Tulisan Lainnya

Nabi Pun Perlu Jubir

Tulisan Lainnya