Di pinggir terminal ada pemulung duduk nggelempoh menanti uang jatuh di antara jari-jarinya yang terbuka. Seseorang bersorban berjalan di depannya begitu saja seolah tidak melewati siapa pun. Beberapa rombongan ziarah wali lalu-lalang sibuk dengan urusan sakral mereka; mengunjungi kekasih Allah yang banyak berkahnya—kata ustaz mereka hampir tiap pengajian.
Lalu tampak lelaki mengenakan jas lengkap dengan dasi turun dari mobil kemudian mengulurkan beberapa lembar tunai biru kepada pemulung lalu pergi. Sontak, raut wajahnya tegas seperti disiram air tengah tidur. Pemulung itu bergegas menghampiri ‘orang asing’ itu namun mobil membawanya terlalu cepat. Dilihatnya bagian belakang mobil ada tulisan kecil; “Keuskupan Agung Gereja Santa Maria.” Pemulung itu, kini tidak peduli lagi soal agama. Yang penting, ia bisa makan puas sepanjang uang masih di tangannya.
Di tengah jalan menuju warung, terdengar ceramah dari speaker masjid menyiarkan sumbangan kepada masyarakat untuk uang perbaikan masjid. Kalimat-kalimatnya sungguh provokatif selain juga disetel dengan nada tinggi namun memelas. Pemulung tadi membayangkan bagaimana gaya penyampaian orang dalam masjid itu seperti ketika dirinya narik di perempatan atau lampu merah dan di pasar-pasar. Tak jauh beda, gumamnya.
Sekelebat, ingatannya kembali pada kejadian yang baru saja dialaminya. Seorang rohaniwan Katolik yang begitu baik bahkan kepada orang yang tidak dikenalnya. Kepalanya sibuk bekerja membentur-benturkan bayangan uskup itu dengan orang-orang bersorban. Orang dalam masjid tadi dengan dirinya sendiri. Otaknya berpikir keras; apa gerangan beda ini dengan yang itu. Pertanyaan itu timbul tenggelam bersama kakinya yang semakin menghampiri warung makan beberapa meter darinya.
Karena warung yang ia datangi ternyata dipoles seperti tahun 80-an, menu yang ada hanya menu-menu sederhana bahkan lebih mewah dari makanan hasil pungutan. Niatnya untuk foya-foya ia tunda. Suatu kali pasti akan makan di restoran juga, pikirnya. Tak tanggung-tanggung ia memesan dua porsi untuk perutnya yang lama tidak makan lebih. Di tengah menanti menunya dihidangkan, ia lihat radio mangkrak di paling sudut ruangan. Sudah lama pula ia tidak mendengar radio—karena hanya bunyi gitar pengamen atau klakson jalanan yang selama ini memenuhi gendang telinganya. Ia hidupkan radio berantena dua itu kemudian diputarnya asal main.
Dari radio itu ia dengar lagu-lagu masa kecilnya yang masih diingatnya betul. Barangkali lagu yang tak lekang oleh waktu adalah lagu islami anak-anak yang kadang mengungkap rukun iman, islam dan berisi ajaran-ajaran agama. Bosan ia dengar lagu anak, ia putar lagi radio itu. Wayang—tidak cocok. Dagelan Baso—tidak menarik. Hingga kemudian ia putar sekenanya dan terdengar seorang Kiai sepuh (sekilas dari suaranya menggambarkan sosoknya yang tua) mengisi pengajian. Makanannya masih belum juga datang. Ia makin bosan.
Didengarnya kiai itu menyampaikan ilmu penting, kiranya dianggap demikian hadir di majelis kala itu. Pada satu kalimatnya, kiai itu menyampaikan bahwa orang Islam banyak dikalahkan mereka yang tidak Islam. Narasi itu timbul, sambungnya, dari fakta orang amat pelit urusan beri-memberi ketimbang ‘orang luar’. Tetapi, sekalipun demikian, faktanya seorang muslim tetap lebih baik dari non muslim; karena menjadi muslim adalah pertolongan Tuhan.
Pemulung itu seperti tertarik pada ceramah kiai itu. Ia hampir melupakan pesanannya yang tak kunjung datang. Telinganya lebih ia dekatkan ke lubang suara radio. Oleh karena seorang muslim mendapat pertolongan dan selain muslim tidak, lanjut kiai itu, maka perlu diartikan apa makna pertolongan yang dimaksud.
Dalam Jauharat al-Tauhid milik Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, pertolongan diartikan sebagai “membedakan sesuatu dari yang lain”.Itu arti etimologisnya. Sementara syariat mengatakan lain, pertolongan—dalam ilmu tauhid diistilahkan at-Taufiq—yakni kemampuan menjalankan perintah (taat) yang diberikan Tuhan kepada hambanya. Menurut Al-Juwaini, definisi ini belum cukup mengartikan makna taat sehingga perlu ditambahi “kemudahan untuk melakukannya”. Karena orang yang diberi kemampuan bekerja belum tentu ia memiliki peranti-peranti sebagai perantara. Piranti itu diantaranya “sebab” dan “perkakas”. Sebab mendorong untuk bekerja sementara perkakas membantunya bekerja. Misal paling mudah, orang salat harus suci dan itu harus menggunakan air (wudhu). Air adalah satu sebab diperbolehkan salat. Sementara anggota badan yang bekerja saat wudu atau salat adalah perkakas.
Seorang muslim dianugerahi pertolongan menjalankan taat sekaligus kemampuan mengerjakannya. Lain halnya dengan non muslim, mereka hanya punya kemampuan bekerja namun tidak ditolong (ditakdir) mengerjakannya. Pernyataan Imam Al-Juwaini bertolakbelakang dengan mayoritas Asy’ariyah yang mencukupkan definisi al-Taufiq sebagai bentuk kuasa menjalankan perintah (taat) kepada Tuhan. Golongan ini menafsirkan kata “mampu” sebagai hal yang hadir bersamaan dengan ketaatan itu sendiri. Orang salat berarti mendapat dua hal; pertolongan dan kemampuan bergerak untuk melakukan salat. Dengan definisi ini tentu non muslim tidak termasuk ‘bagian yang diberi pertolongan’.
Mendengar panjang ceramah kiai di radio itu, pemulung sekelebat membayangkan uskup yang kemudian dihapus oleh bayangan orang-orang bersorban. Pikirannya kembali timbul dan tenggelam secara bergantian. Radio yang tergeletak di dekat telinganya itu dibiarkannya terus nerocos. Kiai dengan suaranya yang tua itu terus melanjutkan ceramahnya bahkan hujah-hujahnya lebih banyak keluar. Ketika seseorang datang membawa pesanannya, pemulung itu bergegas menanyakan mengapa begitu lama masakannya tersaji sehingga ia terpaksa memainkan radio dan terjebak pengajian seorang kiai entah siapa. Pegawai itu pergi mengambil daftar pesanan—amat panjang—sambil menegaskan; saya sebenarnya mampu, Pak, tapi apa pasal tidak satu pun yang menolong. Lalu ada suara dari radio yang tergolek itu; ihdinas shiratal mustaqim—kiai mengakhiri pengajiannya.
Wallahu waliyyuttaufiq.
Penulis: Ilham Romadhan
Penyunting: Muhammad Az-zamami
No Comment! Be the first one.