Search
Close this search box.

Mengenal Istinbat dan Istidlal

Farabi , Davood Diba

Istinbat berasal dari kata berbahasa arab “nabth” yang berarti: “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbat ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbat menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan makna ijtihad. Fokus pembahasan dari istinbat adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi. Oleh karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut dinamakan “Istinbat”.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan beristinbat atau berijtihad adalah sebagai berikut:

a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.

b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.

c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijmak, agar hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan Ijmak.

d.      Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbat hukum.

e.       Mengetahui Ilmu Logika, agar dapat mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

f.        Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunah tersusun dalam bahasa Arab, dsb.

Setelah mengetahui pengertian istinhbat, kita akan mempelajari proses penggalian hukum lainnya yang disebut dengan “Istidlal”. Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: meminta petunjuk, memperoleh dalil, atau menarik kesimpulan. Imam Dimyathi memberikan arti istidlal yang lebih umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta, diharapkan. Dalam proses pencarian hukum, al-Qur’an harus dan selalu menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijmak menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil diatas belum bisa menghasilkan keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama dengan metode yang telah ada seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, dsb. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil di luar keempat dalil tersebut.

Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum islam diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).

Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya  terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, Ijmak, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad SAW), dan madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).

a.       Al-Qur’an

Secara bahasa, al-Qur’an dari kata qara’a yang berarti “bacaan” atau “apa yang tertulis padanya” Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:

 “ Kalam Allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri an-Nas”.

Kaum muslim sepakat menerima Al-Qur’an sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi.

b.      Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berarti “jalan yang biasa dilaui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Secara istilah, sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan sifatya yang berkaitan dengan hukum.

c.       Ijmak

Menurut bahasa, Ijmak berarti kesepakatan atau konsensus. Ijmak terbagi menjadi dua bentuk yaitu Ijmak sharih dan Ijmak sukuti. Ijmak sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijmak sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.

d.      Qiyas

Arti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau Ijmak), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid  ashl), dan hukm al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau Ijmak).

e.       Istihsan

Dari segi bahasa, Istihasan  berarti “menganggap atau memandang baik pada sesuatu”. Dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan Qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, karena terdapat dalil atau alasan yang menghendakinya. Sedangkan pendapat para ulama berbeda-beda dalam mengartikan istihsan. Istihsan dilakukan antara lain jika terjadi konflik kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit, jika ketentuan hukum pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya, dengan kepentingan yang ruang lingkupnya lebih jelas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.

f.       Istishlah

Istilah lain dari istishlah adalah Maslahah Mursalah. Dari segi bahasa, istishlah berarti baik. Istishlah didefinisikan sebagi upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun yang menolaknya.

Penggunaan Istishlah harus memenuhi persyaratan yaitu bukan diukur dengan dugaan semata, sifatnya umum bukan perorangan, tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan. Menetapkan ketentuan hukum dengan berdasarkan maslahah mursalah, merupakan bidang yang amat subur untuk mengembangkan hukum islam, khususnya dalam muamalah kemasyarakatan.

g.      Istishhab

Dari segi bahasa, istishhab berarti “minta bersahabat” atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Definisi istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya.

Ada dua macam istishhab: Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas-asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Missal, segala macam makanan dan minuman, yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya adalah mubah atau halal. Kedua, melngsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan suatu dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya. Misal, jika seseorang telah berwudhu, kemudian ragu-ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, maka ia dihukumi belum batal atas dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakininya. Maka Istishhab hanya menjadi hujah untuk melangsungkan hukum tidak menetapkan hukum baru yag sebelumnya belum ada.

h.      ‘Urf

Menurut bahasa, ‘Urf berarti “yang kenal”. Definisi ‘Urf ialah “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Lebih lengkapnya ‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

‘Urf dibagi menjadi dua macam yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban.  ‘Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.

            Dari paparan di atas dapat kita tarik pemahaman, bahwa sumber hukum dalam agama islam tidak  hanya berkecimpung pada al-Qur’an dan as-Sunnah saja. Sehingga tidak perlu diragukan bahwa hukum yang sudah ada pada saat ini, bisa di pastikan sudah melalui proses seperti keterangan di atas. Oleh karena itu hukum yang sudah dicetuskan oleh para mujtahid

Tulisan Lainnya

Mengenal Istinbat dan Istidlal

Farabi , Davood Diba

Tulisan Lainnya