Search
Close this search box.

Makna “Sah” dalam Ibadah dan Mu’amalah

makna sah dalam ibadah dan muamalah

KAMPUS POJOK- Dalam kajian ushul fikih, term “sah” merupakan istilah yang memiliki makna
mendalam, baik dalam ibadah atau muamalah. Berikut penjelasannya!

Makna Sah

Secara etimologis “sah” berasal dari bahasa Arab as-shihah yang artinya baik atau sehat. Dalam kajian ushul fikih “sah” merupakan salah satu hukum wad’i (hukum yang tidak hanya berlaku bagi mukalaf) yang menjadi indikator bahwa pekerjaan yang kita lakukan sesuai dengan ketentuan syariat. Hal ini sebagaimana keterangan Syaikh Zakariya Al-Anshori dalam kitab Ghayah al-Wushul:

مُوَافَقَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ وُقُوعًا الشَّرْعَ

Artinya: “Shihah adalah sesuainya perbuatan (yang memiliki dua potensi; sah dan tidak) dengan ketentuan-ketentuan syariat
[Al-Anshari, Abi Zakariya Yahya, Ghayah Al-Wushul (sameela) hal. 14]

Ulama lain memberikan definisi yang sama tapi menggunakan redaksi berbeda. Sebagaimana kutipan Syekh Wahbah Az-Zuhaili:

وُقُوعُ الفِعْلَ ذِي الْوَجْهَيْنِ مُوَافِقًا أَمْرَ الشَّرْعِ

Artinya: “Terealisasinya perbuatan (yang memiliki dua potensi; sah dan tidak) sesuai dengan perintah syariat”.


Maksud dari “ذِي الْوَجْهَيْنِ” adalah memiliki dua potensi yakni sesuai atau bertentangan dengan ketentuan syariat. Artinya, perbuatan yang kita lakukan bisa jadi memenuhi aturan syariat, bisa pula tidak. Contohnya wudlu. Terkadang pelaksanaanya memenuhi rukun dan syarat, terkadang tidak.


Kata “ذِي الْوَجْهَيْنِ” mengecualikan perbuatan yang hanya memiliki satu potensi, yaitu sesuai dengan ketentuan syariat. Seperti pada kewajiban makrifat kepada Allah SWT (mengenal sifat wajib dan mustahil berserta dalilnya secara rinci). Perbuatan tersebut tidak bisa terkena hukum sah maupun tidak sah, karena senantiasa sesuai dengan ketentuan syariat. Artinya apabila menyalahi ketentuan syariat, maka perbuatan tersebut tidak lagi disebut makrifat. Sebagaimana keterangan di kitab Ghayatul Wushul:


والوجهان موافقة الشرع ومخالفته أي الفعل الذي يقع تارة موافقا للشرع، وتارة مخالفا له عبادة كان كصلاة أو
غيرها كبيع صحته موافقته الشرع، بخلاف ما لا يقع إلا موافقا له كمعرفة الله تعالى، إذ لو وقعت مخالفة له أيضا لكان الواقع
جهلاً لا معرفة فلا يسمى الموافق له صحيحا فصحة العبادة

Artinya: “Maksud dari dua sisi adalah potensi sesuai dan bertentangan dengan syariat, yakni adalakalanya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketetapan syariat, adakalanya tidak, baik pekerjaan tersebut ibadah, seperti shalat atau selainnya, seperti jual-beli yang mana dihukumi sah jika sesuai ketentuan syariat. Berbeda dengan pekerjaan yang hanya memiliki potensi sesuai dengan syariat, seperti ma’rifat kepada Allah SWT. karena jika tidak sesuai ketentuan syariat maka namanya jahl, bukan ma’rifat sehingga tidak bisa dihukumi sah.”

Makna Sah dalam Ibadah

Kemudian, definisi di atas apabila diaplikasikan dalam ibadah masih terjadi perbedaan pendapat. Menurut pendapat mutakallimin, sah dalam ibadah adalah perbuatan yang terlaksana sesuai dengan syariat, meskipun hal tersebut tidak menggugurkan qadla. Menurut pendapat lain, sah dalam ibadah adalah perbuatan yang terlaksana sesuai dengan syariat, sekaligus menggugurkan kewajiban qadla. [Al-Anshari, Abi Zakariya Yahya, Ghayah Al-Wushul (sameela) hal. 14]

Contohnya ada pada kasus shalat. Seseorang yang menyangka bahwa dirinya dalam tidak berhadas. Kemudian shalat dan terbukti bahwa ternyata dia sedang berhadas, Maka, menurut pendapat pertama shalatnya sah dan berkewajiban untuk melakukan qadla. Berbeda menurut pendapat kedua, shalat orang tersebut tidak sah karena shalat yang ia kerjakan belum bisa menggugurkan kewajiban qadla.

Makna Sah dalam Mu’amalah

Dalam mu’amalah. “sah” berarti tujuan dari akad telah tercapai. Namun, sahnya suatu akad tidak menjamin efek hukumnya akan langsung berlaku. Seperti pada kasus jual-beli pada masa khiyar. Meski telah dihukumi sah, barang yang ditransaksikan tidak langsung bisa dikuasai secara penuh hingga masa khiyar berakhir dan kedua pihak yang bertransaksi sepakat jual belinya tetap berlangsung. Buktinya, barang tersebut tidak boleh diprjualbelikan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Syeikh Zakaria dalam kitab Ghoyatul wushul:


فالصحة منشأ الترتب لا نفس الترتب، كما زعمه الآمدي وغيره بمعنى أنه حيثما وجدت فهو ناشىء عنها لا بمعنى أنها حيثما وجدت نشأ عنها حتى يرد البيع قبل انقضاء الخيار

Artinya: “Sah adalah penyebab adanya konsekuensi, bukan konsekuensi itu sendiri. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Amadi dan lainnya. Artinya, di mana sah ditemukan, maka dari situlah akan muncul konsekuensi. Bukan berarti konsekuensi akan langsung terjadi tatkala ditemukan hukum sah. Sehingga ini dapat menyebabkan pengembalian barang yang telah ditransaksikan sebelum berakhirnya masa khiyar” [Al-Anshari, Abi Zakariya Yahya, Ghayah Al-Wushul (samelaa) Hal.16]

Kesimpulan

Pandangan tentang “sah”, baik dalam ibadah maupun muamalah, menunjukkan betapa mendalamnya kajian ushul fikih dalam memahami syariat. Hal ini juga menyoroti pentingnya memahami konsep sah untuk menerapkan hukum dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.

Redaktur: Akmal Aqil Wahyu/Semester 5

Penyunting: Farisqi Adiguna

Tulisan Lainnya

Makna “Sah” dalam Ibadah dan Mu’amalah

makna sah dalam ibadah dan muamalah

Tulisan Lainnya