Sebenarnya sudah banyak perbincangan mengenai surat Al-A’raf ayat 54 yang salah satu isinya membahas tentang “istawa”-nya Allah, yang oleh Kemenag diartikan bersemayamnya Allah. Namun, kiranya dibutuhkan tulisan yang fresh untuk memahami kembali apa sebenarnya yang dimaksud ayat tersebut. Oleh karena itu, berikut paparan beberapa penafsiran surat Al-A’raf ayat 54 tersebut.
Awalnya, tafsir Al-Qurthubi menukil keterangan dari kitab Al-Maqashidu Al-Asna fi Syarhi Asma Allah Al-Husna. Dalam nukilan itu disebutkan kalau pembahasan mengenai masalah ini begitu rumit. Sampai-sampai kitab itu memaparkan sekitar empat puluh pendapat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai “istawa” ini, tak ada salahnya untuk mengetahui apa itu Arasy yang katanya Allah bersemayam di sana.
Tafsir As-Samarqandi lah yang menjelaskan secara jernih kapan terciptanya Arasy dan apa tujuan diciptakannya. Disebutkan, bahwa Allah mula-mula menciptakan makhluk bernama Al-Qalam, lalu Lauhul Mahfudz. Setelah itu, Allah memerintahkan Al-Qalam untuk menuliskan apa saja yang akan terjadi hingga kiamat nanti dan menciptakan apa saja yang Ia kehendaki. Barulah Arasy tercipta lengkap dengan malaikat Hamalatul Arasy, pembawa Arasy. Terakhir Allah menciptakan langit dan bumi.
Untuk tujuan diciptakannya Arasy, Imam Abu Laits As-Samarqandi memaparkan dengan jelas dalam kitab tafsirnya itu. Bahwa, Allah menciptakan Arasy bukan untuk kepentingan-Nya, melainkan untuk kepentingan para hamba-Nya. Agar mereka tahu ke mana mereka menghadap kala beribadah. Sama seperti ketika Allah menyuruh pembangunan Ka’bah sebagai kiblat penduduk bumi. Dari sini baru muncul pertanyaan, “Kalau bukan untuk kepentingan-Nya, lalu bagaiamana kita memahami ayat yang menyebutkan kalau Allah itu bersemayam di Arasy?
Dalam kitab tafsir Ruhu Al-Ma’ani, karya Abi Fadl Al-Alusi, telah dikisahkan bagaimana Imam Malik berkeringat dingin ketika ada orang yang bertanya bagaimana cara Allah “istawa”. Saat ditanya begitu, beliau malah menjawab dengan jawaban yang sepertinya menggantung. “Mempercayai ayat tersebut (Allah “istawa” di Arasy) hukumnya wajib. Dan mempertanyakan (bagaimana cara “istawa”)-Nya adalah kelakuan bid’ah,” kata beliau.
Memang begitu tanggapan ulama mutaqaddimin, ulama yang hidup pada abad satu sampai tiga hijriah. Mereka enggan untuk menafsiri ayat yang bisa menimbulkan anggapan Allah serupa dengan makhluk-Nya. Karena rumusan awal Allah itu mukhalafatu lil hawaditsi, tidak serupa dengan makhluk dalam hal apapun. Yang mereka yakini hanya Allah itu “istawa” atau bersemayam di Arasy. Mengenai caranya, para ulama mutaqaddimin angkat tangan dengan berkata, “Wallahu a’lam bi shawab.”
Namun, ulama yang hidup setelah abad tiga hijriah, ulama mutaakhirin, agaknya berupaya menjelaskan mengenai makna ayat di atas. Salah satunya penjelasan pada tafsir Al-Maraghi yang mengalihkan makna hakiki ke makna majas. Mengalihkan makna “istawa” yang makna hakikinya “bersemayam” ke makna majas “berkuasa”. Dengan demikian, surat Al-A’raf ayat 54 itu seolah menegaskan bahwa Allah berkuasa dalam mengatur dan mengendalikan alam sesuai dengan sifat kebesaran-Nya yang jauh dari cela.
Agaknya pengalihan makna ini yang dirasa aman dan bisa diterima logika orang awam dalam memahami tafsirannya. Karena pengalihan makna tersebut menjauhkan kita dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ini membuat kita aman dari vonis Nuaim bin Hammad, seorang tetua Kota Bukhara, yang berkata, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya, maka ia kafir.”
Lalu, bagaimana kita menyikapi terjemah Kemenag yang mengartikan “istawa” dengan kata “bersemayam”? padahal dalam KBBI bersemayam memiliki arti duduk, berdiam atau tinggal. Masak Allah duduk, berdiam atau tinggal di Arasy. Kalau begitu Allah sama dengan makhluk? Jawabannya jelas tidak. Pemikiran itu seharusnya kita buang jauh-jauh. Kalau perlu dibuang sampai inti bumi terdalam, saking fatalnya pemikiran seperti itu.
Tim penerjemah dari Kementrian Agama sepertinya menyadari celah ini. karena itu, mereka memberi catatan, “Bersemayam di atas Arasy ialah salah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.” Mereka seakan ingin menjelaskan kalau bersemayam yang tertulis di terjemahan itu bukan bermakna duduk, berdiam ataupun tinggal. Karena hal itu bertolak belakang dengan sifat wajib Allah kelima, mukhalafatu lil hawaditsi.
Namun, bagaimanapun diksi yang dipilih oleh tim penerjemah Kementerian Agama tersebut kurang tepat. Sebab kata “bersemayam” tak punya arti lain dalam KBBI selain makna perupaan Allah memiliki bentuk tubuh. Diksi kurang tepat ini rawan menimbulkan kesalahpahaman. Padahal, kata “istawa” dalam bahasa Arab tak melulu bermakna duduk, berdiam atau tinggal, bisa juga diartikan lainnya sesuai dengan konteks. Dan makna sesuai konteks itu yang belum ditemukan dalam kosa kata bahasa Indonesia.
‘Ala kulli hal, terlepas dari semua paparan di atas, kita sepatutnya ikut pendapat yang membuat kita terbebas dari anggapan kafir. Bisa ikut pendapat ulama mutaakhirin yang mengatakan “istawa” maknanya adalah “kekuasaan”. Atau bisa ikut terjemah Kemenag yang mengartikan bersemayam dengan catatan tidak menyamakan Allah dengan makhluk. Atau bisa juga tidak mengartikan sama sekali seperti ulama mutaqaddimin dengan bilang, “Allah itu istawa di atas Arasy.”
Penulis: Ibrahim.
Penyunting: Muhammad Az-Zamami
#fikihindustri #ngajisakkuliahe
No Comment! Be the first one.