Keistimewaan Ahli Ilmu

tafsirmahadaly2

Masih ingatkah pembaca mengenai cerita Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis? Sulaiman adalah seorang Nabi yang memiliki sekian keistimewaan yang tidak terdapat pada Nabi lainnya. Sedang Bilqis adalah pemimpin kaum Saba’ yang menjadikan matahari sebagai sesembahan. Cerita kedua tokoh ini mungkin menarik untuk kita bahas. Terlebih, cerita yang berkaitan dengan keutamaan ilmu.

Untuk itu, mari perhatikan ayat di bawah ini,

قَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَيُّكُمۡ يَأۡتِينِي بِعَرۡشِهَا قَبۡلَ أَن يَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ قَالَ عِفۡرِيتٞ مِّنَ ٱلۡجِنِّ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَۖ وَإِنِّي عَلَيۡهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٞ 

“Dia berkata: “Hai para pemuka, siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?” Berkata ‘Ifrit dari jenis jin: “Aku akan datang kepadamu dengannya sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku untuknya benar-benar kuat lagi terpercaya. ” (QS. An-Naml: 38-39)

Jadi, ayat di atas bercerita perihal keinginan Nabi Sulaiman memindahkan singgasana ratu Bilqis sebelum dia tiba di istana Nabi Sulaiman. Akhirnya, datanglah ‘Ifrit untuk menerima tantangan. Dengan percaya diri, ‘Ifrit berkata,

“Aku akan datang kepadamu dengan membawa (sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu) untuk pulang beristirahat; Sesungguhnya aku untuk melaksanakan tugas itu benar-benar kuat membawanya lagi dipercaya sehingga tidak akan ada kekurangan sedikitpun dari apa yang kubawa itu.”

Konon, Nabi Sulaiman datang “berkantor” dari pagi hingga siang hari. Jika demikian, berarti ‘Ifrit mampu menghadirkan singgasana itu dalam tempo setengah hari. Demikian penjelasan Prof. Quraish Shihab di dalam Tafsir al-Misbah.

Kemudian, datanglah orang yang berilmu menjawab tantangan yang sama,

قَالَ ٱلَّذِي عِندَهُۥ عِلۡمٞ مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسۡتَقِرًّا عِندَهُۥ قَالَ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيّٞ كَرِيمٞ 

”Berkatalah seseorang yang memiliki ilmu dari al-Kitab: “Aku akan datang kepadamu dengannya sebelum matamu berkedip.” Maka, tatkala dia melihatnya terletak di hadapannya, dia pun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau kufur. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. ” (QS. An-Naml: 40)

Aksi Ahli Ilmu

Sebelumnya, pernyataan ‘Ifrit yang hendak mendatangkan singgasana dalam tempo setengah hari tidak mendapat tanggapan dari Nabi Sulaiman. Tiba-tiba, ada seorang yang senantiasa mengasah kalbu dan diberi karunia ilmu oleh Allah, menjawab tantangan untuk lebih cepat daripada ‘Ifrit. Dia mengaku bisa mendatangkan singgasana tersebut sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan kedua matanya. Ternyata benar, singgasana tersebut tiba di hadapan Nabi Sulaiman sesuai dengan pengakuannya. 

Menurut sebagian sarjana Islam, dia adalah Ashif Ibnu Barkhiya’, salah satu ulama Bani Israil yang menjadi menteri Nabi Sulaiman. Ada pendapat lain, dia bukanlah Ashif Ibnu Barkhiya’. Yang pasti, ayat di atas mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa kemampuan yang bersangkutan itu, lahir dari ilmu yang ia miliki. Dan ilmu itu adalah yang bersumber dari al-Kitab, kitab suci yang diturunkan Allah Swt kepada para nabi-Nya. 

Imam Ghazali, di dalam Ihya Ulumiddin, memberi satu penjelasan. Ashif mampu seperti itu karena kadar ilmu yang dia miliki. Terlebih, menurut sebagian sarjana Islam, Dia memiliki satu keistimewaan. Jadi, ketika dia berdoa kepada Allah Swt, sudah barang tentu dikabulkan oleh Allah Swt. Maka tidak heran saja ketika dia benar bisa merealisasikan apa yang dia janjikan kepada Nabi Sulaiman. 

Prof. Quraish Shihab menambahi, di sini, sekali lagi, terlihat penekanan tentang peranan ilmu. Perlu dicatat, bahwa ketika al-Qur’an atau as-Sunnah memuji seseorang yang berilmu, maka itu berarti yang bersangkutan telah mengamalkan ilmunya. Karena ilmu itu ada yang hanya menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya. Ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan.

Kesimpulan

Ayat di atas menunjukkan bahwa dengan mengetahui dan mengamalkan ilmu yang bersumber dari Allah swt., seseorang akan memperoleh kekuatan dan kemampuan jauh melebihi kekuatan dan kemampuan yang cerdik dan jenius walau dari jenis jin.

Jadi, manusia itu paling tidak memiliki empat daya pokok, 1) Daya fisik yang dapat melahirkan keterampilan, 2) Daya pikir yang menghasilkan ilmu dan teknologi, 3) Daya kalbu yang membuahkan iman serta dampak-dampaknya yang luar biasa, dan 4) Daya hidup yang menjadikan pemiliknya mampu menghadapi berbagai tantangan hidup. Yang mengasah daya-daya itu, melahirkan aneka hal yang sangat mengagumkan. 

Perhatikanlah pemain akrobatik yang dengan melatih fisiknya, dia dapat melakukan aneka gerak yang tidak dapat dilakukan oleh orang kebanyakan. Demikian juga orang yang mengasah daya pikirnya dengan aneka kemajuan ilmu pengetahuan yang kita nikmati dan kagumi dewasa ini, dan yang oleh generasi yang lalu nampak sebagai hal yang mustahil. Nah, yang mengasah daya kalbunya, pun akan menghasilkan hal-hal tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh tokoh yang disebut ayat di atas. Demikianlah penjelasan Prof. Quraish Shihab.

Demikianlah sedikit kisah antara Ahli Ilmu dan Jin ‘Ifrit. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Sekian! terimakasih!

Redaktur: Moh. Vicky Sahrul H.
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya