Search
Close this search box.

Kampanye Persatuan Ala Santri

KAMPUS POJOK – “Santri itu harus berperan untuk menjaga (persatuan) supaya perbedaan aspirasi politik itu tidak menimbulkan konflik di masyarakat.” (Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin).

Perbedaan aspirasi politik mau tidak mau pastinya akan terjadi. Bahkan, kalau pun nanti pasangan calon presiden Indonesia hanya satu, pastinya akan ada pihak yang mendukung pasangan calon presiden tersebut dan ada yang tidak mendukung. Di sini lah rentan terjadi konflik di masyarakat.

Sehingga, Kiai Ma’ruf berpesan pada santri untuk menjaga persatuan. Bagaimana santri menyebarkan pesan persatuan, menjaga agar tidak terjadi konflik di masyarakat. Agaknya, santri menjadi pemeran utama di sini berdasarkan dari pengalaman belajar santri di pesantren. 

Di pesantren santri belajar bagaimana merespons perbedaan. Santri secara naluriah dapat memosisikan diri bagaimana cara bertindak agar tidak terjadi konflik. Salah satu mata pelajaran yang dapat santri gunakan sebagai dasar untuk mengampanyekan persatuan adalah Fikih. 

Belajar dari Khilaf dalam Fikih

Fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, ijmak dan qiyas yang digali berdasar suatu metode bernama ijtihad. Dengan kata lain, Fikih adalah sebuah rumusan ulama. Karena sebuah rumusan, tentunya setiap ulama memiliki nalar sendiri dalam merumuskan suatu hukum. 

Dari situ, khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama menjadi hal lumrah. Bahkan, dalam mazhab Syafi’i pun, para pengikutnya tak jarang berbeda dengan Imam Syafi’i sebagai pendiri mazhab. Perbedaan pendapat dari pendiri mazhab ini dalam kitab kuning masyhur dengan sebutan ikhtiar (pendapat pilihan seorang ulama).

Dalam fikih ada suatu pepatah mengatakan,

تَغَيُّرُ الْاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْاَزْمِنَةِ وَ الْاَمْكِنَةِ

“Hukum (Fikih) bisa berubah karena perubahan zaman dan kondisi.”

Perbedaan pola pikir ulama serta perubahan zaman dan kondisi ini menjadikan fikih begitu dinamis. Hasil rumusan hukumnya relatif. Atau bisa dikatakan bisa salah atau benar. Semua imam mazhab pun menyadarinya dan beberapa dari mereka pernah mengatakan maqalah serupa yang sudah masyhur berikut,

رَأْيِيْ صَوَابٌ وَيَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابُ

“Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar.”

Dapat kita lihat bagaimana perbedaan di Fikih itu adalah suatu rahmat. Bagaimana tidak, dari maqalah tersebut kita belajar bagaimana bersikap menghadapi perbedaan. Meski kita sudah merasa benar dengan pendapat sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan yang benar adalah pendapat orang lain.

Dengan pemahaman seperti itu, maka tidak ada celah untuk menghujat atau mencaci pendapat orang lain. Maka, muncul lah situasi yang kondusif dan tetap bersatu tanpa terjadi konflik.

Pesan Imam Syafi’i dalam Menjaga Persatuan

Mengenai perbedaan pendapat ini, ada kisah menarik dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala` karya Imam Adz-Dzahabi. Dikisahkan, saat Imam Syafi’i mengajar di masjid Amr bin Ash, tempat biasa beliau mengajar, ada seorang murid yang berbeda pendapat dengan beliau. Nama murid itu adalah Yunus Ash-Shadafi.

Imam Syafi’i dan Yunus Ash-Shadafi saling beradu argumen di halaqah itu sampai pelajaran pun usai. Yunus Ash-Shadafi pun kembali ke rumahnya dengan membawa pendapatnya sendiri yang berbeda dengan gurunya itu.

Beberapa saat kemudian Imam Syafi’i mendatangi kediaman Yunus Ash-Shadafi. Setelah dipersilakan masuk, Imam Syafi’i memilih tempat duduk tepat di dekatnya. Kemudian beliau meraih tangan Yunus Ash-Shadafi dan berkata,

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلَا يَسْتَقيمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَاناً وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ

“Hai Abu Musa (panggilan Yunus Ash-Shadafi), bukan kah kita tetap saudara meskipun kita tidak sepakat akan satu hal?”

Sungguh mengagumkan apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i kepada muridnya tersebut. Beliau bukannya marah karena muridnya tidak sefrekuensi. Malah beliau lah yang mendatangi kediaman Yunus Ash-Shadafi untuk memastikan hubungan guru-murid di antara keduanya tidak sirna gara-gara berbeda pendapat terhadap satu hal. 

Kalau kita bercermin di masa sekarang –meminjam redaksi pesan Imam Syafi’i— pesan yang pantas diberikan adalah, “Bukan kah kita masih satu warga Indonesia walau berbeda calon presiden yang didukung?”

Karena itu, Untuk apa kita tidak saling sapa hanya karena berbeda pandangan mana pemimpin yang cocok untuk Indonesia 2024 nanti? Yang kita tidak suka adalah pemikiran orang lain, lantas kenapa orangnya juga dihindari? Buat apa juga kita mengharuskan orang lain setuju dengan pilihan kita?

Walhasil, di peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023 ini, tugas santri adalah membentuk revolusi. Bila di tahun kemerdekaan para santri merealisasikan revolusi Jihad yang dirumuskan oleh para kiai, maka menjelang pemilu 2024 ini santri perlu mengampanyekan revolusi persatuan. 

Redaktur: Muhammad Miqdadul Anam
Penyunting: M. Ihsan Khoironi

Tulisan Lainnya

Kampanye Persatuan Ala Santri

Tulisan Lainnya