Narasi Rajab (11): Isra’ Mi’raj dan Soal Keimanan

Dalam suatu kesempatan, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa dalam persoalan sejarah, para ulama memiliki kelonggaran, tidak terikat dalam satu pakem dan sumber. Dalam hal ini, termasuk Isra’ dan Mi’raj. Sebagai salah satu peristiwa bersejarah, sedikitnya terdapat 10 pendapat tentang kapan perjalanan malam Baginda Rasul tersebut terjadi.

Pernyataan tersebut diamini oleh Prof. Abu Zahrah, ulama bermazhab Hanafi kenamaan asal Mesir. Dalam Khatamu-n Nabiyyin, Pemungkas Para Nabi,beliau menyebutkan silang pendapat di antara sejarawan tentang tepatnya peristiwa tersebut. Menurut al-Sadi, Dzul Qa’dah malam menjadi saksi atas peristiwa itu. Namun al-Zuhri berkata lain, adalah Rabiul Awwal lah yang menjadi saksi. Hal senada juga diungkapkan oleh Jabir dan Ibn Abbas.

Namun yang menarik, 27 Rajab malam justru menjadi waktu yang lebih populer. Menurut Ibn Katsir, salah satu hadis yang tidak sahih menjadi dasar dipilihnya malam tersebut.

Daripada itu, beberapa kalangan justru berpendapat bahwa malam Isra’ dan Mi’raj bertepatan dengan malam Raghaib, malam Jumat pada pekan pertama bulan Rajab. Lain lagi, Nihayatu-l Arab malah menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada Sabtu malam, 29 Ramadan, delapan belas bulan sebelum hijrah. Tepat pada usia Baginda yang ke-51.

Yang jelas, peristiwa tersebut terjadi. Sebagai hiburan yang diberikan oleh Allah kepada Baginda Rasul, Isra Miraj menjadi tolak balik keimanan umat. Banyak yang imannya tereliminasi saat mendengar kabar tersebut. Tak perlu terkaget-kaget tentang banyaknya kalangan, bahkan dari para muslimin yang meragukan bahkan mendustakan peristiwa itu. Ini tak lain karena soal iman.

Peristiwa tersebut memang tidak logis. Nalar para sahabat, bahkan para ilmuwan era modern tidak bisa memecahkan kerumitan perjalanan wisata Baginda ke langit itu. Ketika kisah perjalanan dari Masjidil Haram hingga menemui Allah di tempat yang aqsha menghebohkan pagi masyarakat Makkah, Abu Bakar hanya berucap, ”Benar. Apa yang ia katakan adalah benar. Bahkan, lebih dari itu pun aku percaya.” Keberhasilan Baginda Rasul dites tentang bangunan Masjidil Aqsha pun tak menjadikan masyarakat di pagi itu percaya. Sekali lagi, ini soal iman.

Jika ingin menelusuri ayat-ayat al-Qur’an, para ulama juga mengalami silang pendapat. Iya, tentang Isra, perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha para ulama bersepakat dengan ayat pertama dalam QS. Al-Isra [17]. Karena ini sebuah konsensus, siapapun yang mengingkari kebenaran Isra imannya akan gugur (Quraish Shihab: 2018: 421).

Apakah Mi’raj benar-benar terjadi? Ulama pun ternyata tidak satu suara. Hal ini karena ketidaksepakatan ulama tentang dalil Mi’raj sendiri. Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat pertama surah al-Isra hanya berkata tentang Isra saja. Namun, pendapat ini disanggah oleh sebagian ulama[1] yang menyatakan bahwa perjalanan Mi’raj secara tersirat telah disinggung oleh ayat tersebut. Frasa مسجد الاقصى, dimaknai sebagai tempat sujud yang sangat jauh, tempat di mana Baginda Rasul menerima perintah salat 5 waktu.

Pendapat lain juga diungkapkan. Dalam al-Najm ayat ke 5-18 dikatakan;

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat [5], yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa) [6]. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi [7]. Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat [8], sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi) [9]. Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah [10].  Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya [11]. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu? [12]  Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain [13], (yaitu) di Sidratul Muntaha [14], di dekatnya ada surga tempat tinggal [15], (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya [16], penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya [17]. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar [18].

Surat al-Najm [53]: 5-18 dianggap oleh banyak ulama bercerita tentang Mi’raj. Ayat-ayat di atas tidak dipahami oleh sebagian ulama sebagai berbicara tentang peristiwa Mi’raj. Karena itu, ulama tidak menilai kafir bagi mereka yang menolak keberadaan Mi’raj, namun hanya menilainya telah melakukan dosa (Quraish Shihab: 2018: 422).

Sampai di sini, penulis dibuat tercengang. Betapa para ulama benar-benar berselisih tentang sebuah peristiwa agung yang selama ini kita anggap benar. Bukan berarti peristiwa tersebut tidak benar. Namun, kita harus bersikap dengan bijak ketika mendengar sesama saudara berbeda pendapat tentang kebenaran peristiwa tersebut.

Baik. Jika kita anggap peristiwa Isra dan Mi’raj benar-benar terjadi, lantas bagaimana proses naiknya Baginda Rasul ke langit tersebut? Apakah dengan ruh saja, ataukah dengan jasad juga? Sekali lagi, para ulama tidak satu suara. Dalam Fiqhu-s Shirah al-Nabawiyah, Syekh Said Ramadan al-Buthi berpendapat bahwa ruh dan jasad beriringan sama saat Isra’ dan Mi’raj. Dengan skenario yang telah diatur oleh Allah, Baginda Rasul mengalami peristiwa tersebut dalam keadaan yaqadzah, terjaga.

Lain lagi, Prof. Abu Zahrah (Abu Zahrah: 1979: 570) bersepakat bahwa Isra terjadi dengan jasad dan ruh, namun tidak dengan Mi’raj. Dengan berpendapat bahwa Mi’raj hanya dilakukan dengan ruh, beliau menyebutkan beberapa analisis;

  1. Dalam peristiwa Mi’raj disebutkan bahwa Baginda Rasul bertemu dengan beberapa Nabi. Dapat dipastikan, bahwa pertemuan tersebut dilakukan secara ruhani. Jasad-jasad para Nabi berada di bumi, dan akan dibangkitkan kelak pada waktunya.
  2. Dalil tentang Mi’raj (dalam hal ini beliau bersepakat tentang surat al-Najm ayat 5-18 yang menyatakan tentang Mi’raj) pada ayat ke 11 hingga 13 dengan jelas menyatakan bahwa peristiwa yang dialami Baginda adalah ru’yatu-l fu’ad, penglihatan dengan mata batin. Kebenaran apa yang dilihat oleh mata batin tidak bisa disangkal. Dan pastinya, penglihatan mata batin adalah penglihatan secara ruhani.
  3. Dalam Mi’raj, Baginda Rasul tidak melihat Allah. Sesuai dengan jawaban Baginda Rasul saat ditanya oleh Abu Dzar; “Apa yang kulihat itu adalah sebuah cahaya.” Jika yang dialami Baginda Rasul adalah demikian, maka penglihatan yang dialami adalah penglihatan mata batin. Ini bukan berarti beliau tidak sepakat dalam ru’yatu-l Lah di surga. Karena konteks yang berbeda, beliau berpendapat demikian.

Well, kita telah tahu betapa para ulama tidak benar-benar bersepakat dalam peristiwa ini. Tidak logis dan memang di luar nalar pada umumnya yang menjadi salah satu hal, mengapa perselisihan tersebut terjadi. Namun, yang pasti, peristiwa Isra’ Mi’raj memberikan sebuah pelajaran berarti. Betapa dalam kita beragama harus betul-betul percaya tentang apa yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasulullah. Karena percaya itu bukan karena tahu, tetapi karena justru tidak tahu.

Sekian.

Penulis: Muhammad Az-Zamami

Penyunting: Muhammad Miqdadul Anam


[1] Pernyataan ini penulis peroleh dari Kajian Tafsir al-Mishbah oleh Prof. M. Quraish Shihab. Diakses pada 9 Maret 2021 pukul 15.00

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *