Narasi Rajab (5): Analisis Hadis Dhaif Seputar Rajab (III).

Diriwayatkan dari al-Baihaqi bahwa ia menerima informasi dari Abdurrahman al-Sulami dari Muhammad bin Abdullah bin Quraisy dari al-Hasan bin Sufyan dari Abu Zar’ah dari Muhammad bin Abdullah al-Azadi dari Yusuf bin Athiyyah al-Shaffar dari Hisyam bin Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwa;

 ان رسول الله لم يصم بعد رمضان الا رجب و شعبان

Setelah Ramadan, Baginda Rasul tak pernah terlihat puasa kecuali saat Rajab dan Syakban”

Riwayat ini dinilai sangat lemah karena terdapat Yusuf bin Athiyyah. Secara aklamasi, para ulama bersepakat tentang status “lemah” yang disandangnya. Imam al-Nasai bahkan menyatakan bahwa hadisnya matruk, diabaikan. Komentar tajam tentang riwayat ini juga disampaikan oleh al-Baihaqi dalam Sya’bu-l Iman; “Hadis ini riwayatnya lemah. Banyak hadis yang serupa dengan hadis ini dan semuanya tertolak. Bahkan, perawinya banyak yang tidak diketahui”.

Hadis ini adalah pemungkas kajian hadis dhaif oleh Ibn Hajar al-Asqalani. Terdapat tiga hadis yang menjadi sampel beliau untuk bahan analisis kelemahannya. Menurut hemat penulis, tiga hadis itu adalah hadis arus utama di bulan Rajab. Terlebih, riwayat tentang doa agar bisa bersinggungan dengan bulan Ramadan.

Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah mengungkapkan pendapat Ibn Hajar tentang kebolehan mengamalkan hadis dhaif, “Pada dasarnya, mengamalkan hadis Ahkam (hukum-hukum syariat) dan Fadhail (ritual-ritual yang baik) sama saja, karena kedua hal tersebut adalah bagian dari syarak.”

Namun, penulis rasa, kita harus melihat bagaimana dialektika tentang hukum periwayatan dan pengamalan hadis dha’if.

Dalam Taisiru-l Musthalahi-l Hadis, Dr. Mahmud al-Thahan menyatakan tentang kebolehan meriwayatkan hadis dhaif dengan mengesampingkan sanadnya dengan dua syarat;

  1. Hadis tersebut tidak berhubungan dengan aturan agama yang bersifat dogmatis dan hukum-hukum syariat, halal dan haram
  2. Hadis tersebut hanya boleh digunakan untuk nasehat, cerita-cerita, dan motivasi untuk semangat dalam beribadah.

Sebagai upaya untuk membedakan mana yang benar benar hadis dan mana yang bukan, para ulama menganjurkan agar tidak merujuk kepada Baginda Rasul SAW secara langsung saat menginformasikan hadis tersebut. Artinya, jika kita biasanya menyampaikan hadis dengan  قال رسول الله, Baginda Rasul berkata, saat menyampaikan hadis lemah ini kita menyampaikan dengan روى عن رسول الله, diriwayatkan dari Baginda Rasul, atau “kami menerima informasi bahwa..”.

Terkait pengamalan hadis dha’if, al-Khatib al-Baghdadi pernah berkata, “Kita harus seleksi secara ketat untuk hadis-hadis Ahkam, hukum-hukum ibadah. Namun, untuk selain itu seperti fadhailu-l a’mal, kita tidak mempermasalahkan sanad dan status perawinya. Para pendahulu kita bahkan tidak mengizinkan penggunaan hadis seperti ini, kecuali untuk mereka yang sudah punya kapabilitas dalam bidang ini”. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Sekian.

Penulis: Muhammad Az-Zamami

Penyunting: Ilham Romadhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *